REPUBLIKA.CO.ID, Satu hari di tahun 2002, dengan memakai kerudung yang dipinjam dari seorang teman, Yosephine menuju sebuah masjid di kawasan Menteng (Jakarta Pusat) seorang diri. “Aku tak memberi tahu siapapun, termasuk calon suamiku.” Di sana, ia bersyahadat dan resmi menjadi seorang Muslimah.
Resmi menjadi seorang Muslimah, Yosephine tak segera merasa lega. Pasalnya, tak ada seorang pun yang membimbingnya setelah itu, termasuk dari calon suaminya. Labilnya keimanan Yosephine masih membuatnya enggan mentolerir penjelasan-penjelasan yang memojokkan agama lamanya.
Pada masa yang sama, Yosephine memikirkan cara menyampaikan kabar keislamannya pada kedua orang tuanya di Semarang. Merasa tak bernyali untuk menyampaikannya secara langsung, ia menulis surat berisi kabar bahwa dirinya telah menjadi seorang Muslim. Setelah cukup lama menunggu tanpa balasan apapun, Yosephine menghubungi ibunya. Dari ibunya, ia mendapat jawaban bahwa mereka belum menerima surat yang dikirimnya.
Belum berani berbicara langsung, Yosephine kembali menulis surat dengan isi yang sama. Ibunya tetap mengatakan hal yang sama, hingga Yosephine kembali menulis surat ketiganya. Setelah surat ketiga, barulah sang ibu memberitahunya bahwa ketiga suratnya telah sampai. “Ayahku yang syok memberikannya kepada seorang uskup agung di Semarang.”
Sang uskup menasihati sang ayah untuk tidak melawan keinginan Yosephine, dan tetap menyayanginya sebagaimana sebelum ia menjadi Muslim. “Dan benar, mereka tak mempersoalkan keislamanku saat aku pulang ke Semarang. Bahkan, ayahku lah yang membangunkanku untuk shalat Subuh,” katanya.
Hingga hari pernikahannya, Yosephine belum merasa sepenuhnya di pihak Islam. “Aku kerap meninggalkan shalat karena kesal karena perilaku Muslim dan penjelasan-penjelasan dari mereka yang memojokkan agama lamaku.”
Setelah menikah, Yosephine bersama beberapa tetangganya secara privat mengkaji Islam dari seorang ustaz. Sayangnya, Yosephine kesulitan menangkap setiap penjelasannya yang terlalu tinggi untuk mualaf sepertinya. Sedangkan di rumah, diskusi ataupun perdebatan dengan suaminya tak memberikan pencerahan sedikitpun.
Di tengah kebingungan, Yosephine menenangkan diri dan mengingat-ingat janjinya terhadap keputusan yang telah ia ambil. “Aku mencoba berdamai dengan keadaan dan menjalani tuntutan Islam sebagai tanggung jawabku atas pilihan yang kuambil,” ujarnya.
Hingga kemudian, masjid di komplek perumahan tempat ia tinggal mengundang seorang tokoh mualaf, Insan L. Mokoginta. Penjelasan mualaf yang juga kristolog itu menjawab semua pertanyaan Yosephine dan membuka pikirannya. “Aku bisa menerima semua penjelasannya karena berbasis Alquran dan Al-Kitab. Lalu aku memborong semua buku yang ditulisnya.”
Buku-buku Islam dan internet menjadi teman Yosephine setelah itu. Ia tak lagi berangkat ke tempat kerja dengan membonceng suaminya, melainkan menggunakan kereta api. “Aku punya 2 x 45 menit (waktu di dalam kereta) setiap hari. Sayang jika kulewatkan tanpa membaca apapun,” kata perempuan yang membuka usaha jasa servis komputer di wilayah Mangga Dua itu.