REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gola Gong
Dengan iqra, Muhammad bisa mengubah dunia. Sedangkan aku, dengan membaca buku bisa mengubah diriku sendiri!
Aku tidak akan melupakan peristiwa pada 30 April 2012. Saat itu hampir saja menjadi hari terburukku. Mim piku ke Gua Hira ham pir buyar ketika di pintu keluar Jeddah International Airport petugas memintaku membongkar koper. Aku sudah diingatkan agar jangan mencari masalah dengan polisi Saudi. Bisa langsung dideportasi!
Petugas itu mengacak-acak isi koper dan menemukan tumpukan buku. De ngan bahasa Inggris dan Arab seadanya aku jelaskan, “Buku ini untuk mahasiswa, Kedutaan Indonesia… Iqra, iqra. Daqwah bil qalam…” Polisi Saudi itu menatapku.
Petugas itu masih meneliti sampul bukuku. Buku-buku itu aku butuhkan untuk memberikan pelatihan menulis di Jeddah. Tapi, kalau bukuku disita, aku tidak akan memprotes. Pokoknya jangan sampai aku dan istriku, Tias Tatanka, dideportasi. Lebih pen ting dari segalanya adalah bisa umrah.
Setelah puas menjelajahi Madinah, kami pun tiba di Kota Suci Makkah, kota yang selama ini hanya aku lihat di sajadah atau foto besar di ruang ta mu seorang teman yang baru pulang dari berhaji. Clock Tower menjulang menembus angkasa. Tinggi dan besar ba ngunan itu menyeruak muncul dari belakang Hotel Zam-Zam. Aku melihat tangan-tangan besi crane berseliweran di langit Makkah.
Aku pun beristigfar. Tubuhku ge metar. Di depan kami tampak Masjidil Haram yang termashyur itu. Alhamdulillah, kami meng ucap puji syukur karena akhirnya kerinduan itu terbayar hari ini. Kami lalu menuju pelataran Masjidil Haram. Dari pintu utama, beberapa langkah kemudian di depan kami terbentang Ka’bah.
Lautan manusia serbaputih bertawaf, ber putar mengelilingi Ka’bah. Tubuhku se makin bergetar. Aku merasakan orangorang yang bertawaf seperti sehelai kain putih yang tertiup angin, permukaannya membentuk gelombang ombak. Oh, kerinduan itu terbayar di sini.
Belasan tahun, waktu, tenaga, pikir an, dan materi tersita untuk Rumah Du nia, komunitas baca di Serang Banten, yang kami dirikan sejak tahun 2000. Kini mimpi berada di depan Ka’bah terwujud. Ka’bah berdiri tegak di depan kami. Seolah tersenyum me minta kami mendekat.
Jabal Nur
Selama seminggu di Makkah, aku dan Tias memberi pelatihan di KBRI Jeddah dan Makkah. Baru pada Ahad 6 Mei 2012, aku ke Gua Hira di Jabal Nur. Aku harus ke Gua Hira karena di sanalah pertama kali perintah membaca dan menulis diperintahkan Allah kepada Muhammad lewat Jibril. Itu dua hal yang aku geluti sebagai pengarang dan Ketua umum Forum Taman Bacaan Masyarakat se-Indonesia. Pengalaman spiritual Muhammad di Gua Hira sangat aku butuhkan. Itu bukan peristiwa biasa.
Sejak lama aku ingin ke Ghar Hera’a. Aku berlima ke sana dipandu guide bernama Hamzani. Seorang dipungut 40 riyal. Aku katakan kepada mereka, wisata literasi ke Jabal Nur ini tidak populer. Mayoritas jamaah Indonesia memilih berumrah lagi atau shopping. Padahal, Nabi Muhammad mencontohkan, berumrah cukup sekali saja, selebihnya tawaf sunah.
Taksi membawa kami lima km ke arah utara Makkah. Kami lalu mulai mendaki. Jalannya menanjak.Tingginya sekitar 200 meter. Aku ibaratkan, Jabal Nur adalah batu sangat besar yang ditancapkan Allah SWT. Tak ada lapisan apa pun, kecuali permukaan batu yang licin, mengilap, menyilaukan, dan licin.
Aku perhatikan di lereng-lereng, banyak sampah botol plastik menum puk. Kotor dan terbengkalai. Grafiti di batu-batu suci. Monyet-monyet yang kehausan dan kelaparan mengikuti kami. Seekor monyet menarik tas anggota rombonganku. Tidak ada petugas keamanan berjaga. Pengemis yang duduk di setiap tikungan tanjakan tidak peduli dengan peristiwa itu. Mereka hanya meminta dengan memaksa, tapi tidak akan marah jika tidak diberi. Aku sudah menyiapkan banyak uang pecahan satu riyal untuk mereka.
Usai beristirahat dan shalat di puncak Jabal Nur, kami menuju Gua Hira. Kami harus turun beberapa anak tangga lagi. Ada celah kecil yang harus kami lewati. Letak Gua Hira ada di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit.
Tidak banyak orang yang datang ke Gua Hira. Gua itu kecil. Luasnya hanya cukup untuk tidur tiga orang dan tingginya sekira dua meter, di bagian ujung kanan ada lubang yang dapat dipergunakan untuk memandang kawasan bukit dan gunung arah Makkah.
Di gua inilah Rasulullah ber-tahannus (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Dan, di tempat ini pula, lewat perantara Malaikat Jibril turun surah al-Alaq yang mengajak manusia membaca.
Aku merinding. Orang-orang meng antre shalat di gua sempit ini. Tiba-tiba aku jadi teringat almarhum bapak dan emak. Pada 1974, tangan kiriku harus diamputasi karena kecelakaan. Bapak dan emak menyuruhku membaca buku. “Bacalah. Nanti kamu akan lupa bahwa diri kamu cacat.” Kini, dengan iqra, Muhammad bisa mengubah dunia. Sedangkan aku, de ngan membaca buku bisa mengubah diriku sendiri. ed: indira rezkisari
Hati-Hati Banyak Monyet
Perjalanan ke Jabal Nur bisa dilakukan tanpa menyewa peman du. Sebaiknya selepas Ashar karena matahari tidak sedang bersinar terik. Minta tolong saja kepada office boydi hotel yang rata-rata dari Indonesia untuk memanggilkan taksi. Biayanya sekitar 25 hingga 50 riyal dari hotel di sekitar Masjidil Haram ke Jabal Nur. Taksi akan berhenti persis di pos pintu masuk ke Jabal Nur. Tidak perlu membayar tiket, langsung naik juga tidak dilarang.
Pakaian sebaiknya yang ringkas-ringkas saja. Baju kondura atau gamis berwarna putih sangat nyaman. Kalau tidak memakai payung, tutupi kepala dengan kain kafayeh. Hati-hati banyak monyet. Maka, tidak perlu membawa tas dan jangan membawa makanan atau minuman saat mendaki. Ada warung penjual minuman mineral di atas. Istirahat dan minum jangan terlalu banyak karena tidak ada toilet.
Waktu tempuh mendaki Jabal Nur paling lama satu jam. Turunnya bisa 30 menit.
Catatan
Ibadah umrah umumnya selama sembilan sampai 14 hari. Besarnya biaya tergantung pilihan paket umrah. Harganya, umumnya, mulai dari 1.500 dolar AS hingga 5.000 dolar AS.
Gola Gong
Traveler, Penulis Jalan-Jalan