REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Sekitar 6.500 hektare tambak di wilayah pesisir Subang, dalam kondisi mati suri. Tambak tersebut membentang dari Kecamatan Pusakanagara hingga Blanakan. Padahal, sekitar dekade 80 hingga 90-an, tambak tersebut berada dalam masa keemasan. Namun, saat ini para pembudidaya memilih meninggalkan tambaknya.
Sekertaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, Wahyu Hidayat, mengatakan, luas lahan tambak yang ada di Subang mencapai 13 ribu hektare. Sekarang, yang kondisinya mati suri 50 persennya. Sisanya, masih produktif. Akan tetapi, skalanya kecil. "Sekarang kebanyakan petambak beralih budidaya," kata Wahyu, Ahad (17/6).
Saat masa keemasan, petambak banyak yang membudidayakan udang. Udang yang paling terkenal saat itu Udang Windu. Akan tetapi, sekarang beralih ke budidaya ikan bandeng. Karena, budidaya bandeng jauh lebih menguntungkan ketimbang udang.
Setelah ditelusuri, penyebab mati surinya tambak itu, di antaranya akibat pencemaran lingkungan. Lingkungan tambak yang tercemar limbah ini, memacu perkembangan virus white spot (VWS) semakin tinggi. Virus ini, yang menyebabkan udang menjadi mati. Sehingga petambak mengalami gagal panen.
Limbah tersebut, berasal dari aliran air irigasi. Sepertinya, air yang masuk ke petakan sawah dari hulunya sudah tercemar. Bisa jadi, tercemar limbah industri, rumah tangga, dan pertanian. Sehingga, ketika sampai ke areal tambak yang merupakan muara aliran air, seluruh limbah mengendap di tambak. Akibatnya, perkembangbiakan virus semakin meningkat.
Diakui Wahyu, dari sisa lahan tambak yang produktif yaitu sekitar 6.500 hektare lagi, yang masih intensif ditanami udang tinggal 50 hektare. Tapi, ada juga yang tanam dengan cara tumpang sari. Dengan kata lain, petambak menggabungkan udang dengan ikan bandeng. Luasan tambak tumpang sari ini mencapai 3.000 hektare. Sisanya, murni ditanami ikan bandeng.