REPUBLIKA.CO.ID, DUSHANBE -- Tema pernikahan kontrak tengah jadi bahasan utama dikalangan ulama Tajikistan saat memberikan ceramah. Padahal tema ini dianggap tabu dimasa lalu.
Imam Masjid Dushanbe, Imam Eshon Abdul Basir Saidov, Jumat (8/6) lalu, membenarkan tren menikah kontrak di kalangan Muslimah Tajiksitan tengah marak dalam dua atau tiga tahun terakhir. "Muslimah Tajik telah menjadi korban," kata dia seperti dikutip payvand.com, Senin (18/6).
Pendapat senada juga diungkap Kepala Departemen Kebudayaan Partai Kebangkitan Islam, Zurafo Rahmoni. Ia mengatakan, saat ini cukup banyak Muslimah Tajik menikah kontrak dengan warga Iran yang menetap disini.
"Pernikahan kontrak ini merugikan Muslimah Tajik. Sebab, selepas kontrak mereka tidak akan mendapatkan perlindungan selayaknya hak dan kewajiban suami-istri. Yang lebih menyakitkan adalah anak-anak yang lahir dari pernikahan itu tidak terjamin haknya," papar dia.
Rahmoni menyesalkan bahwa perekonomian Tajikistan turut andil dalam tren tersebut. "Kesulitan sosial dan ekonomi berkontribusi terhadap munculnya fenomena ini dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini mungkin ratusan pernikahan kontrak berlangsung atas alasan ekonomi," kata Rahmoni.
Ulama Tajik menilai pernikahan kontrak tidak Islami dan bertentangan dengan tradisi dan budaya Dushanbe.
"Penikahan kontrak merupakan upaya melegalkan prostitusi. Seharusnya tidak diakui sebagai pernikahan yang sah, kami melihatnya sebagai perbuatan dosa," kata Saidov.
Maya, penata rambut yang melakukan pernikahan kontrak mengaku pernikahannya itu tidak semata karena alasan keuangan. "Aku menyukai pria Iran. Aku bertemu dengan suamiku ketika berpapasan di sebuah restoran. Lalu, ia menyebutkan tentang pernikahan jangka pendek. Aku tidak cukup mengerti saat itu," kata dia.
Kisah manis yang dialami Maya akhirnya tak bertahan lama. Pria Iran yang menikahinya mendadak meninggalkan ia dan anaknya. "Aku tidak mendapatkan dukungan apapun, baik keuangan atau moral," kata dia.
Melihat dari kerugian yang dialami muslimah Tajik, para ulama menyerukan agar Muslimah untuk tidak menikah dengan orang asing kecuali pernikahan itu memenuhi syarat seperti jaminan hak-hak perempuan dan anak hasil pernikahan itu.