REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto memastikan bahwa semua pinjaman luar negeri yang dilakukan pemerintah tanpa disertai adanya agenda politik dari para kreditor.
"Untuk kebijakan yang terkait pinjaman luar negeri kita memprioritaskan dari kreditor yang tidak mempunyai agenda politik apa pun," ujarnya di Jakarta, Senin (18/6).
Menurut dia, apabila ada kreditor yang ingin memberikan pinjaman dengan disertai permintaan atau pesanan tertentu, maka pemerintah akan menolak pinjaman tersebut. "Jadi kalau ada kreditor yang mau meminjamkan uang tapi punya agenda politik tertentu, minta konsesi politik atau ekonomi, akan kita tolak," ujarnya.
Rahmat menyampaikan pernyataan tersebut, karena dahulu pemerintah pernah mendapatkan pinjaman yang terkait dengan agenda politik dari para kreditor. "Pernyataan seperti itu selalu kita sampaikan, karena mungkin 15 tahun lalu pernah ada," katanya.
Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi lagi dan pemerintah saat ini ingin menjaga independensi serta mempelajari tawaran terlebih dahulu sebelum menerima pinjaman maupun bantuan tertentu. "Sekarang sampai kapan pun, harus kita sampaikan (pernyataan tersebut) untuk menunjukkan independensi kita," kata Rahmat.
Rahmat mengatakan pemerintah memiliki banyak sumber pembiayaan untuk menambal defisit anggaran dari APBN dan tidak lagi bergantung dari pinjaman maupun hibah dari satu kreditor.
"Kita sudah banyak instrumen yang bisa digunakan untuk pembiayaan, sudah banyak sekali komitmen baik di dalam maupun luar negeri. Jadi tidak hanya bergantung pada salah satu kreditor," katanya.
Pemerintah dalam penyampaian kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2013, masih memanfaatkan pinjaman luar negeri dan menurunkan utang baru untuk mempertahankan kebijakan net negative flow pinjaman luar negeri.
Selain itu, sebagai kebijakan pembiayaan, pemerintah juga mengupayakan tercapainya rasio utang terhadap PDB berkisar 21 persen-23 persen pada akhir 2013.
Pemerintah juga terus mengembangkan pasar surat berharga negara dan instrumen pembiayaan surat berharga syariah negara untuk proyek infrastruktur serta mengupayakan fleksibilitas pembiayaan utang melalui penggantian instrumen utang dengan biaya yang relatif rendah dan risiko terkendali.
Hal lain yang dilakukan adalah konversi surat utang pemerintah di Bank Indonesia yang tidak dapat diperdagangkan, menjadi surat berharga negara yang dapat diperdagangkan untuk mendukung efisiensi pengelolaan moneter dan pengembangan pasar keuangan.