Rabu 20 Jun 2012 06:10 WIB

Perkembangan Sepakbola (II) antara Cruyff dan Pep Guardiola

Rep: teguh setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Johan Cruyff
Johan Cruyff

REPUBLIKA.CO.ID,Ketika tiki-taka menjadi istilah populer untuk menyebut permainan Spanyol di bawah Luis Aragones dan Barcelona era Pep Guardiola, penulis sejarah sepakbola Spanyol sibuk melihat ke belakang untuk mengidentifiksi peletak dasar pemainan ini. Versi pertama menyebutkan tikitaka diperkenalkan Johan Cruyff di Barcelona, dilanjutkan Louis van Gaal dan Frank Rijkaard, dan menemukan bentuk sempurnanya saat Barca dipegang Pep Guardiola.

Versi kedua mengatakan dasar permainan tiki taka adalah total football. Asuminya, ada syarat yang harus dipenuhi sebuah klub yang memainkan tiki-taka. Yaitu, klub memiliki pemain yang mampu beroperasi di semua lini, kecuali menjadi penjaga gawang.

Artinya, seorang pemain harus bisa menjadi penyerang, gelandang, dan defender. Tidak ada posisi tetap di tiki-taka. Semua pemain harus bisa bertukar posisi dalam waktu yang cepat, namun tidak boleh ada dua pe main yang di posisi sama.

Barcelona berkenalan, dan bermain dengan filosofi ini, setelah Mic hels datang ke Camp Nou – markas Barcelona. Michels tidak sekadar me latih pemain senior Barca, tapi ju ga membangun sekolah sepakbola yang kini dikenal dengan nama La Masia.

Tahun 1973, Michels membawa Johan Cruyff. Setahun kemudian, Barca memenangkan gelar La Liga. Tahun 1974, Michels juga melatih Belanda, dan membawa negaranya ke final Piala Dunia, tapi dikalahkan Jerman.

Tahun 1976, Michels kembali melatih Barcelona. Tahun 1978, ia – bersama Johan Cruyff – meninggalkan Camp Nou.

Tahun 1988, Cruyff kembali ke Camp Nou sebagai pelatih. Ia tidak sedang meneruskan kerja Michels yang belum selesai, tapi mengevolusi total football sang guru, membawa banyak pemain dengan kemampuan teknik tinggi; Michael Laudrup.

Hristo Stojkov, Ronald Koeman, Romario, dan Georghe Hagi. Serta, mempromosikan seorang gelandang bertahan belia bernama Pep Guardiola. Di bawah Cruyff, Barcelona memenangkan Piala Champions kali pertama, empat gelar La Liga, dan satu Piala Winners. Tidak hanya itu, Cruyff membuat keputusan berani dengan menunjuk Guardiola sebagai kapten.

Dalam konsep bermain Cruyff, kapten adalah ‘pelatih’ di lapangan saat bertanding. Guardiola bertugas mengaplikasikan taktik dan strategi bertanding yang diberikan Cruyff. Kritikus sepakbola Spanyol saat itu sempat menyebut Guardiola sebagai Cruyff di lapangan.

Satu hal yang tidak boleh dilupa, penunjukan Guardiola sebagai kapten bukan tanpa kontroversi. Sebagai gelandang bertahan, tubuh Guardiola sangat tidak ideal; terlalu kecil, dan terlihat lemah menghadapi permainan fisik penyerang lawan. Namun Guardiola piawai, berkat gemblengan Cruyff, mengantisipasi serangan dan memberi instruksi kepada rekan-rekannya saat lini belakang menghadapi tekanan.

Setelah Cruyff pergi, Barcelona berturut-turut ditangani Carles Rexach dan Bryan Robson, sampai akhirnya kembali ditangani pelatih Belanda bernama Louis van Gaal ta hun 1997 sampai 2000. Saat itu, belum ada lagi produk La Masia yang menonjol, tapi Van Gaal meramalkan Xavi Hernandez dan Andres Iniesta akan menjadi bintang masa depan.

Van Gaal meninggalkan Barcelona tahun 2000. Llorenç Serra Ferrer menggantikannya, dan tak berhasil. Carles Rexach kembali lagi, juga gagal. Barcelona membujuk Van Gaal untuk kembali lagi, tapi pelatih temperamental ini hanya bertahan setengah musim.

Januari 2003, Van Gaal pergi. Barca mengalami kesulitan hebat. Mereka harus tiga kali berganti pelatih. Akhir musim 2003, Barca kembali melirik salah satu pewaris total football, yaitu Frank Rijkaard. Barcelona bersinar lagi.

Berbeda dengan Michels dan Cruyff, Rijkaard mengintepretasikan total football dengan caranya sendiri. Ia lebih menyukai sistem 4-1-2-2-1 atau 4-3-3, dengan satu pemain poros dan dua sayap menyerang. Dalam sistem standar 4-4-2, sayap adalah bagian lini tengah. Dengan skena inilah Barca mengakhiri paceklik gelar lima tahun.

Rijkard sebenarnya tidak sedang mengubah sistem. Ia hanya menempatkan satu poros statis, dan menginstruksikan seluruh pemainnya kreatif di lini tengah, dan harus bisa melakukan saling tukar posisi. Mantan pemain Ajax dan AC Milan ini hanya bereksperimen pada taktik.

Namun, taktik yang diterapkan Rijkaard relatif memiliki kelemahan serius, yang membuat Barcelona mudah kebobolan. Barca di bawah Rijkaard mampu menyerang secara kohesif, tapi tidak bisa bertahan sebagai satu unit.

Pemain seperti Ronaldinho, misalnya, hanya diberi tugas menyerang dan mencetak gol tapi tidak harus mundur ke belakang membantu pertahanan. Pemain lainnya adalah Samuel Eto’o, yang relatif hanya diberi tugas menyelesaikan umpan-umpan yang dilepas Xavi, Iniesta, dan Ronaldinho.

Jika menang, tidak ada pers yang mengkritik taktik ini. Suasana ruang ganti relatif dipenuhi tawa. Namun jika kalah, pers akan menggugat tanggung jawab Ronaldinho dan Eto’o, dan Rijkaard akan kesulitan menjawab semua itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement