REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, menilai RUU Kesetaraan Gender lebih banyak pada semangat untuk mengembangkan nilai-nilai liberalisme.
"Jadi, semangatnya sebenarnya bukan semangat yang tumbuh dari nilai-nilai bangsa kita sendiri," katanya di Jakarta, Rabu pagi.
Ia mengaku perlu memberikan ulasan mengenai RUU Kesetaraan Gender karena anggota legislatif tidak mengerti hal-hal yang paling fundamental yang harus segera dicermati dan disahkan untuk mendukung perwujudan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Menurut dia, jika dicermati argumentasi mendasar yang selalu diungkapkan oleh kalangan yang mendukung segera terwujudnya UU Kesetaraan Gender itu adalah bahwa laki-laki melakukan penindasan terhadap perempuan.
"Mereka lupa bahwa realitas sosial yang berkembang adalah yang tertindas tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki atau dalam terma sosiologi adalah kelas bawah," katanya.
Atau dengan kata lain, kata Sekretaris Program Studi Ilmu Sosiologi Unas itu, yang tertindas adalah kelas bawah, baik itu perempuan maupun laki-laki, misalnya di kalangan petani miskin, nelayan miskin, atau para pedagang kaki lima miskin.
"Yang benar adalah kelas atas baik laki-laki atau perempuan melakukan penindasan terhadap kelas bawah," katanya.
Nia Elvina merujuk pada kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) misalnya, tidak jarang juga dilakukan oleh perempuan kelas atas.
Untuk itu, dirinya meminta agar RUU tersebut perlu dicermati lagi.
Perkembangan anak
Menurut dia, harus disadari ada beberapa kajian yang menemukan bahwa perkembangan anak yang ibunya bekerja di sektor publik, secara psikologis tidak mengalami perkembangan yang baik.
Ia mengatakan, ada beberapa tahap perkembangan mereka yang "miss", seperti idealnya perkembangan anak yang dipahami dalam psikologi perkembangan.
Untuk itu, kata dia, lebih perlu dipikirkan kembali urgensinya UU Kesetaraan Gender itu, di tengah kecenderungan negara-negara penggagasnya, di mana perempuan-perempuannya banyak memilih untuk konsen di sektor domestik, seperti membesarkan anak-anak dengan baik dan berkualitas serta menjaga kesehatan keluarga.
"Karena mereka memahami untuk menjadi bangsa yang kuat, dibutuhkan generasi-generasi yang berkualitas," kata Nia Elvina, yang juga tergabung dalam peneliti kelompok studi perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.
Dia mengemukakan, jika pada ibu di Indonesia juga memiliki pemahaman yang demikian, mereka tentunya juga telah memberikan kontribusi untuk pembangunan bangsa.
Karena, kata dia, tantangan bangsa Indonesia sangat tinggi, khususnya untuk perkembangan generasi Indonesia selanjutnya, campur baurnya nilai, baik yang positif maupun negatif.
"Di posisi itulah peran ibu-Ibu Indonesia untuk juga sangat signifikan," katanya.
Untuk itu, ia mendesak DPR sebaiknya tidak perlu membahas atau mengesahkan RUU Kesetaraan Gender.
"Lebih baik energi mereka lebih difokuskan kepada RUU yang memang sangat krusial untuk membangun bangsa Indonesia ini, misalnya RUU Pertanahan dan RUU tentang Desa," katanya.