REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Presiden Pakistan Asif Ali Zardari Selasa membatalkan kunjungannya ke Rusia beberapa jam setelah Mahkamah Agung mendiskualifikasi Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani atas penghinaan terhadap pengadilan.
Presiden Zardari dijadwalkan untuk melakukan kunjungan resmi tiga hari ke Rusia dari 20-22 Juni guna berpartisipasi dalam Saint Petersburg International Economic Forum (SPIEF).
Seorang mantan menteri dan pemimpin pusat Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang berkuasa, Raja Pervez Ashraf, mengatakan bahwa presiden telah membatalkan kunjungannya ke Rusia untuk tetap tinggal di dalam negeri mengingat putusan Mahkamah Agung.
Putusan pengadilan telah mendorong negara itu ke krisis politik pada saat kekurangan listrik terburuk terjadi di seluruh Pakistan dan telah menyebabkan demonstrasi kekerasan, yang menyebabkan terjadinya pembunuhan sedikitnya tiga orang, Selasa.
Presiden Zardari telah mengadakan pertemuan dengan anggota parlemen dari partainya di Islamabad, Rabu, untuk membuat keputusan perdana menteri baru, sumber resmi mengatakan.
Ia juga akan berkonsultasi dengan pemimpin puncak mitra koalisi mengenai perdana menteri baru.
Pihak eksekutif pusat PPP bertemu di Islamabad, Selasa dan menyatakan keberatan atas putusan Mahkamah Agung, kata para pemimpin PPP pada konferensi pers.
Kaira mengatakan bahwa pimpinan partai mengimbau pendukungnya untuk tetap tenang dan menghindari agitasi apapun, dan menambahkan bahwa para pemimpin partai berupaya memberdayakan wakil ketua partai, Presiden Zardari untuk mengambil keputusan dalam situasi yang cepat setelah diskualifikasi pengadilan atas Perdana Menteri Gilani.
Pengadilan mendiskualifikasi Gilani setelah ia tidak mengajukan banding apapun terhadap keyakinannya pada April atas penghinaan terhadap pengadilan.
Gilani dihukum setelah pengadilan menyatakannya bersalah dengan sengaja menolak untuk menerima putusan pengadilan agar membuka kembali kasus korupsi Presiden Zardari.
Pengadilan telah meminta Perdana Menteri Gilani untuk menulis kepada otoritas Swiss agar membuka kembali kasus korupsi terhadap Presiden Zardari tetapi pemerintah bersikeras bahwa Presiden menikmati kekebalan atas kasus pengadilan.