REPUBLIKA.CO.ID, -- Bebasnya penerima nobel perdamaian Aung San Suu Kyi dan masuknya Suu Kyi dalam parlemen Myanmar membangkitkan harapan bagi warga Muslim Rohingya yang terus tertindas. Mereka berharap Suu Kyi akan lantang berbicara terhadap hak-hak Muslim Rohingya, sebuah kaum yang disebut PBB sebagai kaum minoritas paling teraniaya di dunia.
Namun apa yang terjadi, Suu Kyi masih menghindari isu tersebut. Seperti yang terjadi kala Suu Kyi berbicara di Jenewa, Senin, kemarin. Suu Kyi terlihat 'main aman' dengan tidak ingin menyinggung rezim Myanmar.
Ditanya berulang tentang nasib Rohingya, ikon demokrasi Myanmar ini justru mengarahkan pembicaraan mengenai latar belakang atau kewarganegaraan Muslim Rohingya. Ia tidak yakin apakah Muslim Rohingya merupakan warga negara Myanmar.
"Ada beberapa dari mereka yang mengatakan bahwa mereka bukan sebenar-benarnya berasal dari Burma, namun mereka baru tiba dari Bangladesh baru-baru ini," kata Suu Kyi. "Di sisi lain Bangladesh mengatakan sebaliknya, mereka mengatakan bahwa para pengungsi bukan asli Bangladesh namun datang dari Burma untuk menghindari konflik," tambahnya.
Sejumlah pengamat menyatakan, enggannya Suu Kyi lantang dalam membela Muslim Rohingya karena ditakutkan jadi serangan balik baginya. Ia takut diasingkan oleh masyarakat Burma yang mayoritas menganut agama Budha.
Akan tetapi, di sisi lain, publik Internasional juga menunggu Suu Kyi untuk segera mengakhiri ketidakadilan yang dilakukan terhadap minoritas malang yang telah tinggal di Burma selama beberapa generasi itu.
Suu Kyi diharapkan dapat maju ke depan mengatasi masalah ini dengan membangun dialog terhadap mereka yang memiliki latar belakang etnis serta agama berbeda, untuk menemukan landasan bersama bagi penyelesaian damai masalah yang kompleks ini.