REPUBLIKA.CO.ID, Memasuki abad ke-18 M, kejayaan peradaban Islam mulai meredup. Secara politik, umat Islam yang sempat menguasai dunia mulai melemah.
Kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai penguasa tunggal dunia Islam mengalami kemunduran. Pada saat yang sama, perilaku keagamaan umat juga mulai mengalami distorsi.
Di kawasan Semenanjung Arab, terjadi distorsi pemahaman Alquran. Gelora keilmuan yang sempat menghangatkan zaman klasik telah berubah dengan sikap fatalis dan kecenderungan mistis.
Praktik-praktik khurafat tumbuh subur. Masjid-masjid banyak ditinggalkan, karena sebagian umat lebih gandrung menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih.
Kondisi sosial-politik dan keagamaan umat seperti itu membuat Muhammad bin Abdul Wahab tergerak. Di sebuah dusun terpencil bernama Diriyyah, Najd, Jazirah Arab, Abdul Wahab mencetuskan sebuah paham yang oleh pengikutnya diberi nama Al-Muslimun atau Al-Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah SWT. Mereka juga mengklaim sebagai pengikut Mazhab Hanbali atau Ahlus Salaf.
Namun, paham tersebut lebih dikenal sebagai Wahabi. Sebenarnya, istilah Wahabi disematkan oleh musuh-musuh aliran tersebut. Aliran Wahabi memiliki tujuan untuk memurnikan perilaku keagamaan umat Islam, yang telah menyimpang dari ajaran Alquran dan sunah.
Karena itulah, Abdul Wahab menekankan pentingnya kembali kepada ajaran tauhid dan mengecam keras praktik yang mengotori kesucian tauhid, seperti tawassul (doa dengan perantara orang atau benda supaya cepat terkabul), ziarah kubur, dan praktik-praktik yang dipandang bid'ah.
Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i, Jawa Timur, DR Ali Musri, dalam artikelnya yang mengulas sejarah munculnya paham Wahabi, mengungkapkan, pada abad ke-18 M, suasana beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam, terutama dalam aspek akidah.
Praktik-praktik maksiat, khurafat, syirik, bid'ah telah menjangkiti umat Islam. Orang-orang cenderung meminta-minta ke kuburan para wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian. Sebagian umat juga memercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.
Usaha yang dilakukan para ulama untuk menindak tegas segala macam praktik-praktik itu begitu terbatas. Sehingga, upaya para ulama untuk memurnikan akidah umat seakan hilang ditelan arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang. Pada saat itu, di Najd, tanah kelahiran Abdul Wahab, praktik serupa begitu merajalela.