Kamis 21 Jun 2012 19:39 WIB

Wahabi, Antara Pemurnian Akidah Hingga Sosial-Politik (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Kota Makkah zaman dulu (ilustrasi)
Foto: al-ishlah-center.com
Kota Makkah zaman dulu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Fenomena itu (bid'ah, takhayul dan khurafat) juga melanda Makkah dan Madinah, meski kedua Kota Suci ini dikenal sebagai kota para ulama dan penuntut ilmu.

Di wilayah ini, tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan, dan berdoa di tempat itu untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak bahaya, dan sebagainya.

''Sesungguhnya, kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya,'' ujar Abdul Wahab dalam kitab Al-Qawa'id Arba'.

Gerakan sosial-politik

Menurut Ali Musri, kondisi politik di wilayah Jazirah Arab pada zaman itu berada dalam kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Najd. Perebutan kekuasaan selalu terjadi sepanjang waktu. Sehingga, hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata. Penguasa sangat marah bila ada kekuatan atau gerakan dakwah yang dapat menggoyang kekuasaan mereka. Begitu pula, dari kalangan tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikutnya. Mereka takut kehilangan sumber pemasukannya.

Pada 1744 M, aliran Wahabi berubah menjadi sebuah gerakan sosial-politik. Abdul Wahab pun bersekutu dengan Muhammad bin Sa'ud atau Ibnu Sa'ud (wafat 1765 M), pemimpin Dinasti Sa'ud. Pada awal abad ke-20, persekutuan ini berhasil mendirikan negara Arab Saudi, yang menerapkan Wahabi sebagai paham resmi negara.

Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, gerakan Wahabi menjadi kekuatan keagamaan dan politik yang dominan di Jazirah Arab pada sekitar 1746, ketika Al-Sa'ud memadukan kekuatan politik dan ajaran Wahabi. Satu demi satu kerajaan jatuh oleh serangan kekuatan Arab Saudi. Pada 1773, Kerajaan Riyadh jatuh dan kekayaannya digabungkan oleh bendaharawan Al-Dar'iyah, Al-Sa'ud dan Wahabi.

Dengan jatuhnya Riyadh, sebuah tatanan baru pun berdiri di Jazirah Arab, yang mengantarkan periode pertama negara Arab Saudi dan memantapkan Wahabi sebagai kekuatan keagamaan dan politik terkuat di Jazirah Arab, selama abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dewasa ini banyak prinsip Wahabi yang mengilhami kehidupan hukum dan sosial di Kerajaan Arab Saudi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement