REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Komoditas kopi dari Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah masih menghadapi kendala pasar. Hal itu diungkapkan Nixon, seorang petani asal Sigi, pada Kongres Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI) di Gedung Perhutani Wilayah I, Semarang, Jawa Tengah pada 21- 23 Juni 2012.
Para petani kopi di pedesaan menjual komoditasnya di kampung Kibuk. Adapun jenis kopi yang dijual adalah robusta. Kopi ini masih dalam bentuk biji. “Kami ingin di masa datang bisa menjual kopi dalam bentuk bubuk dan dibungkus dalam kemasan khusus,” kata Nixon di Semarang, beberapa waktu lalu.
Sebab biasanya, kata Nixon petani mengumpulkan kopi hasil dari kebun, sambil mencari informasi harga di pasar. Jika harga kopir rendah, mereka menahan kopi. Jika harga tinggi, petani baru melepas kopi ke pasar. “Saat ini harga kopi di tempat kami Rp 18 ribu per kilogram, masih berupa biji,”katanya.
Panen kopi di pedesaan Sigi berlangsung sekali dalam setahun. Kopi mereka tanam di lahan hutan. Beberapa petani membentuk kelompok hutan kemasyarakatan (HKm). Salah satunya adalah Kelompok HKm Pipokoro yang saat ini tengah dibentuk. Dalam sekali panen, tiap kelompok petani rata-rata menghasilkan 20 ton kopi.
Selain kopi robusta, petani juga bertanam kakao (coklat). Tiap keluarga di pedesaan Sigi boleh dikatakan menanam kakao. Tiap kepala keluarga sedikitnya dapat mennjual 100 kilogram kakao tiap bulan. Seperti halnya kopi, petani menjual kakao ke pengepul atau langsung ke pasar.