REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Sejak dahulu Muhammadiyah terkenal dengan kemandirian anggotanya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya anggota Muhammadiyah yang berprofesi sebagai pedagang.
Bahkan KH Ahmad Dahlan pun berdakwah sekaligus berdagang. Dari hasil perdagangan itulah Muhammadiyah berkembang hingga sekarang.
“Pengusaha-pengusaha Islam itu dulu kebanyakan dari Muhammadiyah,” ungkap pengusaha terkemuka Soetrisno Bachir, pada Silaturahim Saudagar Muhammadiyah di Graha Kadin Kota Bandung, Kamis (21/6) malam.
Mantan ketua umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan keberadaan pengusaha Muslim Indonesia mengalami pasang surut. Ketika Era Soekarno dilindungi dengan program Bentengnya. Sebaliknya era Soeharto justru berpihak kepada pengusaha asing. Di era ini mendapat perlawanan dari pengusaha nasional di bawah Ginanjar, “sehingga terkenal dengan Ginanjar Boys.”
Sementara itu, papar dia, di era kepemimpinan nasional saat ini pengusaha Indonesia semakin tenggelam karena kebijakan berpihak kepada neo-liberal.
Pengusaha Muhammadiyah, tambah Soetrisno, akan mengalami kesulitan dalam berusaha karena memiliki tiga kelemahan.
Pertama, kapital yang lemah. Kedua, Patron yang lemah. Akibat patron yang lemah ini informasi peluang usaha menjadi sempit.
“Ketiga, sifat pengusaha Muhammadiyah yang santri, enggan bermain kotor.” Ujarnya.
Melihat kondisi seperti itu tidak ada jalan lain kecuali para pengusaha Muhammadiyah bersatu dalam berusaha. Sebab, bila tidak bersatu akan terus tertinggal.
Muhammadiyah memiliki keunggulan dengan jaringannya yang luas dan kuat. Tetapi bila jaringan ini tidak dioptimalkan, pengusaha Muhammadiyah akan terus tergilas.
Menanggapi pernah bangkrutnya perusahaan yang dimiliki Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu, Soetrisno mengharapkan, Muhammadiyah jangan takut bangkrut bila ingin terlibat dalam bisnis. Sebab, dirinya pun pernah mengalami kebangkrutan. Tetapi dengan kebangkrutan itu akan memberikan pelajaran ke depannya dalam berusaha.
Untuk menghindari kebangkrutan lagi, bila Muhammadiyah ingin terlibat dalam bisnis harus mengikutsertakan pengusahanya. Sebab, mereka mengetahui bagaimana cara pengelolaan sebuah perusahaan.
“Dengan kebersamaan pengusaha Muhammadiyah, rasanya Muhammadiyah akan semakin menegaskan kemandiriannya.” ujarnya. Dengan kemapanan dalam bidang ekonomi akan menopang gerakan dakwah Muhammadiyah di pendidikan atau sosial. “Untuk sinergitas pengusaha Muhammadiyah ini maka sanagt diperlukannya sarekat saudagar Muhammadiyah,” paparnya.
Sementara pengusaha Muhammadiyah dari Jawa Timur, Najih, mengungkapan pertemuan saudagar Muhammadiyah itu sering kali dilakukan. Namun, tidak pernah melahirkan hasil yang konkret.
Menurut Najih, “Serikat Saudagar Muhammadiyah" mendesak untuk segera dibentuk. Kalau tidak segera terbentuk, saudagar Muhammadiyah yang berasal dari Jawa Timur akan mengawal terbentuknya perhimpunan ini.
“Sebab para saudagar di Jawa Timur sudah sinergi dengan Majelis Ekonominya,” paparnya.
Di sisi lain, pengusaha Muhammadiyah dari ibukota, Iskandar Zulkarnain, menyoroti praktik kotor pengusaha yang sampai berani membeli produk undang-undang.
Demi keuntungan yang lebih besar, mereka berani membeli suara anggota DPR untuk menggolkan sebuah produk undang-undang. Misalnya produk undang-undang yang mengatur sistem logistik nasional. Undang-undang ini sangat berpihak kepada pengusaha yang memiliki modal besar, yang dapat menguasai dari hulu hingga ke hilir.
“Saya akan mengajukan judicial review terhadap undang-undang ini,” cetusnya.