REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Psikolog Pendidikan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Meta Aurelia mengatakan, isu tes kehamilan merupakan bentuk ketidakpercayaan sekolah terhadap anak. Padahal, sekolah menjadi tempat tumbuh kembang anak secara individu dalam masa transisi.
Menurut Meta, sekolah seharusnya tidak perlu melakukan tes seperti itu selama tidak ada data dan fakta. Sebab, tes seperti itu hanya dapat menjadi aksi tidak lanjut dari kasus. "Bagi saya, sah-sah saja selama kenyataan itu berdasar fakta dan data empiris," kata dia.
Dia menanggapi ini, karena di SMAN 1 Kota Batu, sebanyak 321 calon siswa baru mengikuti tes urine dan kehamilan. Bila hasil tes tersebut positif, maka calon siswa dipastikan akan dicoret dari sekolah. Menurut Kepala SMAN 1 Kota Batu, Suprantiyo, tes yang dilaksanakan di sekolahnya merupakan upaya untuk pencegahan secara dini.
Soal penerapan tes kehamilan untuk siswa baru, menurutnya, hal itu karena keengganan pihak sekolah untuk mengambil risiko. Atas dasar itulah, akhirnya berujung aturan tentang tes kehamilan.
Meta menambahkan, hal tersebut tidak dapat dipandang sepihak, sebab, pihak sekolah bisa jadi memiliki pertimbangan lain terkait penerapan aturan itu. Bukan hanya soal etis dan tidaknya sekolah menerapkan aturan tersebut sebagai syarat. "Yang pasti, sekolah punya kepentingan atas pencitraan nama baik lembaga," kata dia.