REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof KH Didin Hafidhuddin
Akhir-akhir ini umat Islam tengah diuji oleh beragam peristiwa yang pada hakikatnya bisa merusak moral dan perilaku. Mulai dari kedatangan Irshad Manji yang membawa misi untuk “melegalkan” pernikahan sejenis hingga pro-kontra konser Lady Gaga.
Lady Gaga, seorang penyanyi asal Amerika Serikat, selama ini dikenal sebagai sosok yang kontroversial dalam segala hal. Mulai dari gaya berpakaiannya yang sering “aneh-aneh”, hingga cara berpikir dan gaya hidupnya yang, antara lain, dituangkan dalam lirik-lirik lagunya yang terkadang menghina keyakinan agama pihak lain.
Gerakan penolakan yang kemudian muncul di mana-mana sesungguhnya merupakan ekspresi kegelisahan masyarakat yang sangat mendalam, akibat adanya pergeseran nilai-nilai moral yang terjadi pada bangsa ini. Pergeseran akibat serangan arus pemikiran dan pornografi yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya.
Ditambah dengan era kebebasan yang sering kali tanpa batas dan dengan dalih hak asasi manusia, seseorang dapat dengan mudahnya mengekspresikan segala sesuatu yang nyelenehserta mengobrakabrik keyakinan dan agama orang lain. Karena itu, sangatlah wajar apabila kemudian kegelisahan ini terkristalisasi menjadi gerakan demonstrasi menentang kehadiran Lady Gaga di Tanah Air.
Karakter kemungkaran
Jika menilik Alquran, akan ditemukan sejumlah ayat yang berbicara secara khusus mengenai kelompok orang yang secara konsisten dan istiqamah selalu memperjuangkan kemungkaran dan mengajak orang lain untuk berada dalam barisan pendukung kemungkaran.
Basis perjuangan kelompok seperti ini hanyalah pragmatisme material semata, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam QS [9]:67. Yang mereka harapkan adalah mendapatkan material gain semata, di mana mereka bersedia untuk memperdagangkan keyakinannya dan mempertukarkan kebenaran dengan kesesatan demi mendapat imbalan materi yang sesungguhnya tidak seberapa (QS [2]:15).
Dalam memperjuangkan ide-ide kemungkarannya, kelompok seperti ini akan berusaha membungkus gagasan-gagasan tersebut dengan cover yang menarik dan seolah-olah terlihat sebagai sebuah “kebaikan” yang layak untuk diperjuangkan.
Sebagai contoh, membungkus dengan bahasa akademik dan ilmiah untuk mengkaji buku-buku yang membolehkan pernikahan sejenis sehingga ancaman terhadap kajian tersebut dianggap sebagai upaya membelenggu kebebasan akademik.
Namun, lucunya, proses pembahasannya sering kali tidak ilmiah. Yang ada, justru forum-forum kajian seperti itu malah dijadikan sebagai media untuk memojokkan umat dengan melabelkan stigma-stigma negatif terhadap umat yang menolak pernikahan sejenis. Sementara, telaah kritis terha dap bukunya tidak muncul sama sekali. Yang ada adalah “pemujaan” berlebihan terhadap penulisnya.
Harus disadari bahwa upaya-upaya seperti ini tidak akan pernah berhenti. Para pendukung kemungkaran akan selalu berusaha untuk menyesatkan umat. Beragam cara dan media akan digunakan. Apa pun yang bisa dijadikan sebagai “amunisi” untuk melawan dakwah akan dioptimalkan semaksimal mungkin.
Kesalahan dai dan pendukung dakwah sekecil apa pun akan dimanfaatkan untuk menambah “bahan bakar” dalam mensyiarkan kemunkaran serta sebagai alat untuk memecah belah umat. Hal ini sesungguhnya telah terjadi sejak zaman Nabi Muham mad SAW.
Sebagai contoh adalah kisah tentang fitnah terhadap Siti Aisyah yang tertinggal dari rombongan Nabi SAW dan terpaksa harus pulang ke Madinah naik tunggangan unta. Untanya dituntun sahabat Nabi yang bertugas sebagai tim “sapu bersih”. Keadaan tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh kaum munafik yang tidak senang terhadap dakwah Rasul SAW.
Fitnah dan berita bohong tentang Siti Aisyah itu kemudian mengakibatkan kegemparan di tengah umat. Allah SWT lalu menjawab kabar tersebut dengan menurunkan QS [24]:11- 12. Pada ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa kabar-kabar yang beredar tersebut sebagai berita bohong ( Hadis al-Ifki). Ayat ini turun sebagai peringatan bagi umat tentang bahaya berita bohong sekaligus membersihkan nama Siti Aisyah dari fitnah.