REPUBLIKA.CO.ID, TABANAN -- Beralih fungsinya lahan persawasan di Pulau Bali menjadi kawasan permukiman, hotel, vila, dan restoran menimbulkan dilema bagi masyarakat Bali. Peneliti dari Universitas Udayana Bali, Wiwik Dharmiasih, mengatakan alih fungsi lahan pertanian menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat Bali terutama kaum petaninya.
Wiwik mengatakan, orang Bali percaya adanya hubungan antara lahan, tuhan, dan manusia. Selama ini, petani-petani di Bali selalu melakukan ritual-ritual sebelum melakukan aktivitas di sawah. Namun, semakin luasnya sawah berubah menjadi permukiman atau hotel, ritual-ritual itu pun ikut tergusur.
''Kalau lahan itu beralih fungsi mereka tidak akan melakukan ritual-ritual lagi. Padahal orang Bali percaya karma. Mereka terikat janji pada leluhur untuk tetap memuja,'' ujar Wiwik di Tabanan, Senin (25/6). Kondisi ini menimbulkan dilema bagi warga Bali. Dilemanya, karena upacara-upacara untuk para leluhur mereka ikut menghilang dengan lahan yang berganti fungsi itu.
Karena itu, pemerintah Bali saat ini mendukung penuh upaya untuk mengurangi alih fungsi lahan tersebut. Wiwik mengatakan, menghidupkan pariwisata di Bali, saat ini tidak memberikan dampak positif yang merata. Dia mencontohkan, beras yang ditanam petani, jika disajikan di hotel-hotel berbintang, harganya bisa mencapai Rp 1,5 juta per porsi.
Sementara di sisi lain, jika lahan-lahan mereka berada di pinggir jalan atau di sekitar vila, maka tawaran harga jual tinggi terhadap lahan mereka pun bermunculan atau harus membayar pajak dengan harga hingga jutaan rupiah per bulan. ''Inilah dilemanya bagi mereka. Jika tetap jadi petani, mereka harus bayar pajak tinggi, risiko gagal panen dan sebagainya. Kalau menjual lahan, mereka bisa dapat uang banyak, tapi kehilangan ritual-ritual keagaman mereka,'' ujarnya.