REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika
Tor-tor dan Piala Eropa boleh jadi merupakan topik yang sedang menyedot perhatian sekaligus emosi masyarakat Indonesia. Begitu berbicara tor-tor, rasa nasionalisme tinggi tiba-tiba munggelora. Namun bicara Piala Eropa, halaman sepak bola nasional ramai-ramai ditinggal pembaca.
Sekalipun banyak yang masih asing dengan tarian tor-tor, namun klaim negri Jiran atas tarian adat masyarakat Batak itu, membuat masyarakat meradang. Perdebatan muncul. Banyak yang menanggap Malaysia telah “merampas“ warisan budaya leluhur Indonesia. Namun tidak sedikit pihak yang menilai, kontroversi Tor-tor adalah bentuk kepanikan masyarakat yang lanjur tidak memelihara budaya asal.
Ketidakpekaan masyarakat Indonesia soal budayanya pun lebih mudah diuji ketimbang memperdebatkan soal Malaysia. Coba saja tanya ke sejumlah remaja ibu kota sejauh mana pengetahuan mereka soal tor-tor atau sosok bintang Portugal, Cristiano Ronaldo? Boleh jadi, pengetahuan soal Ronaldo telah dihafal luar kepala, sedang soal tor-tor harus terlebih dahulu menengok Google.
Beda tor-tor, beda Piala Eropa. Tidak perlu kontroversi untuk membuat ajang empat tahunan itu menarik perhatian masyarakat. Karena gemerlap sepak bola Eropa telah memikat hati masyarakat, maka setiap siaran pertandingan, sekalipun tengah malam, tetap setia diplototi.
Kendati mayoritas tidak memiliki keterkaitan langsung, tidak sedikit masyarakat yang menangis begitu tim kesayangannya takluk di Piala Eropa. Padahal tim itu bukanlah timnas Indonesia tapi tim nasional negara lain. Inilah bentuk kekuatan magis sepak bola, layaknya yang pernah diungkapkan Alan Brown, legenda sepak bola Skotlandia: “Sepak bola adalah hal terbesar dalam penciptaan. Sepak bola mampu melewati batas-batas wilayah dan ideologi,”
Pandangan Brown berlaku nyata di Indonesia negara lain di luar Eropa. Tengok saja daftar pemirsa siaran Piala Eropa yang justru didominasi dari Asia. Padahal mayoritas Asia telah memasuki waktu dini hari saat pertandingan di Polandia-Ukraina berlansung.Tercatat 48 Media yang menayangkan Piala Eropa berada di luar UEFA, sedangkan 45 merupakan media asal Eropa.
Di Indonesia, rating Piala Eropa mampu menggoyahkan tayangan sinetron yang selama ini merajai dunia pertelevisian. Bahkan laga Republik Ceska versus Portugal yang dihelat pukul 01.30 WIB, mampu menembus posisi 20 besar rating televise terlaris versi Harian ABC.
Kenyataan soal jumlah pemirsa mempertegas fakta bahwa Piala Eropa tidak hanya tersekat bagi 16 negara pesertanya, namun juga seluruh dunia. Layaknya sepak bola yang tidak tersekat batas wilayah, pun halnya budaya. Sesauai arti kata budaya yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu “buddhi” (akal), sejatinya tidak ada yang aneh bila terjadi persamaan “rasa” antara Indonesia dan Malaysia.
Terlebih merujuk kenyataan bahwa masyarakat Batak banyak yang bermigrasi ke semenanjung Malaya pada abad 19. Tidak ada yang bisa melarang imigran asal tanah Sumatera Utara di Malaysia itu mempertahankan budayanya di tanah rantau. Sama halnya seperti Malaysia yang tidak melarang bermigrasinya masyarakat asal Nusantara di abad 19.
Kesamaan rasa budaya akhirnya jadi keniscayaan. Keniscayaan bahwa ada jenis tarian Tor-tor Batak di tanah Indonesia dan Tor-tor hasil alkulturasi dengan budaya Malaysia.
Sejatinya, tugas masyarakat bukan untuk saling adu kuat pendapat dengan negeri Jiran, namun pembuktian soal pelestarian Tor-tor itu sendiri. Tor-tor yang selayaknya diperhatikan layaknya tayangan Piala Eropa. Bukan justru Tor-tor diperlakukan seperti halaman sepak bola Indonesia di tengah pesta Piala Eropa.