Selasa 26 Jun 2012 19:53 WIB

Kisah Sahabat Nabi: Umair bin Wahab, Jagoan Quraisy Pembela Islam (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Perang Badar usai, kaum Muslimin menawan sejumlah pasukan musuh. Di antara orang-orang Quraisy yang tertawan adalah seorang yang bernama Wahab bin Umair bin Wahab Al-Jumahy.

Ayahnya, Umair bin Wahab Al-Jumahy, adalah pahlawan Quraisy dan seorang yang sangat memusuhi Rasulullah SAW.

Yang membuat Umair sangat sedih, putra kesayangannya, Wahab, kini ditawan pasukan kaum Muslimin. Bagaimana nasib anaknya ditangan pasukan lawannya? Pikirannya selalu gelisah.

Setiap hari, siang dan malam Umair selalu resah dan gelisah. Pikirannya selalu melayang ke buah hatinya yang sangat disayanginya itu.

Pada suatu hari ia duduk-duduk bersama sahabat karibnya, Shafwan bin Umayah, seorang pemuda anak seorang pemimpin Quraisy. Saat itu Shafwan juga sedang dalam duka yang mendalam karena ayah kesayangannya mati di Perang Badar.

Kedua orang yang sedang dalam duka ini berkumpul dan berbincang-bincang mengenai langkah apa yang seharusnya dilakukan.

Di dekat Ka’bah (Hijr) Umair dan Shafwan duduk termenung bersama, lalu keduanya selalu menyebut nama pahlawan-pahlawan Quraisy yang terbunuh di Badar. Di tengah kesempatan itu Shafwan berkata, “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah mereka kini, sesudah kematian pahlawan-pahlawan Quraisy.”

“Demi Allah, memang begitu,” timpal Umair. “Amat benarlah katamu itu wahai Shafwan. Demi Allah, seumpama aku tidak punya pinjaman yang banyak, yang kini aku belum dapat melunasinya. Dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu aku khawatirkan makannya jika aku tinggal mati, niscaya aku datang kepada Muhammad, dan aku bunuh dia. Hatiku amat sakit padanya. Mengapa dia sampai berani menawan anak yang kucintai?”

Sebagai sahabat yang baik dan didorong oleh rasa dendam yang sama kepada seorang Muhammad, Shafwan berkata, “Ah, kalau betul-betul kau hendak membunuh Muhammad aku sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun anak-anakmu biar bersama-anak-anakku dan orang-orang yang jadi tanggunganku. Akulah yang menanggung makannya selama aku masih hidup.”

Umair dengan pandangan yang berbinar senang menyahut, “Betulkan begitu, hai Shafwan?”

“Mengapa tidak? Aku tokh seorang laki-laki bukan, Kau jangan khawatir!”

Umair menyahut, “Kalau memang betul-betul kamu sanggup, baiklah sekarang hal ini kita rahasiakan jangan sampai ada seorang pun yang mendengar!”

Shafwan berkata, “Ya, baiklah! Dan segera kerjakanlah!”

Keduanya kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah Umair segera berkemas-kemas dan menyediakan alat-alat dengan selengkapnya. Pada pagi harinya, berangkatlah Umair dengan membawa senjata yang amat tajamnya, di antara yang dibawanya adalah pedang beracun.

sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement