REPUBLIKA.CO.ID, Kiai Delamat akhirnya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan dimakamkan di Masjid Babat Toman, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.
Namun, oleh anaknya, KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, jenazah Kiai Delamat dipindahkan kembali ke Palembang dan dimakamkan di belakang mimbar khatib.
Tetapi, karena tidak disetujui oleh pemerintah kolonial, akhirnya jenazahnya dipindahkan kembali ke Pemakaman Jambangan di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.
Menurut keterangan, Kiai Delamat lahir di daerah Babat Toman. Setelah dewasa ia pindah ke Palembang dan berdomisili di daerah Lawang Kidul, tepatnya di Masjid Lawang Kidul. Ketika masih remaja, Kiai Delamat pernah mengajar di Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis, bersama Kiai Muara Ogan.
Semasa hidupnya, Kiai Delamat tidak mempunyai satu rumah pun kecuali masjid-masjid yang dibangunnya. Antara lain Masjid Pulau Panggung, Masjid Fajar Bulan, Masjid Babat Toman, dan Masjid Pulau Sambi. Sedangkan, di Kota Palembang ia membangun Masjid Suro (Al-Mahmudiyah-Red) dan Masjid Rohmaniyah yang terletak di Kelurahan 35 Ilir, Palembang.
Dibongkar Belanda
Sepeninggal Kiai Delamat, kegiatan di masjid ini menjadi berkurang. Dan lama kelamaan akhirnya masjid ini dibongkar Belanda. Pemerintah kolonial ini juga melarang diselenggarakannya ibadah di tempat tersebut, selama lebih kurang 36 tahun. Namun, setelah kepengurusan diserahkan kepada Kiai Khotib, bangunan masjid ini kembali difungsikan.
Setelah Kiai Khotib meninggal dunia maka sekitar tahun 1343 H/1919 M diadakan pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru, atas prakarsa Kiai Kiemas H Syeikh Zahri. Maka, terpilihlah kepengurusan baru yang diketuai oleh HM Ali Mahmud.
Di masa kepengurusannya, pada 1920 masjid ini mulai dibongkar untuk diperbaiki. Satu hal yang dipertahankan adalah tiang penyangga masjid yang terbuat dari kayu bulat tinggi dan lebar. Dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia disebutkan, kendati sudah berusia satu abad lebih, namun tiang penyangga masjid ini sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh.
Selanjutnya, pada 1925 pengurus Masjid Suro membangun menara masjid. Dan sejak saat itu masyarakat diperbolehkan kembali shalat Jumat oleh pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu. Kemudian pada 1928 M, dilakukan penyempurnaan pada bangunan tambahan berupa sumur untuk berwudhu.