REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Majelis Luhur Tamansiswa, Sri Edi Swasono mengatakan, saat ini Tamansiswa tengah mengalami krisis kelembagaan.
"Krisis ini adalah dimana Tamansiswa saat ini sudah tidak dikenal banyak orang, bahkan eksistensinya hampir tidak dikenal lagi," tandasnya saat membuka seminar nasional dalam rangka peringatan 90 tahun Tamansiswa di Universitas Tamansiswa Yogyakarta, Selasa (3/7).
Seminar sendiri mengambil tema ekonomi rakyat bagian dari kultur Indonesia. Seminar sendiri menghadirkan pembicara Edi Suandi Hamid, Sri Edi Swasono dan Sahedhy Noor.
Menurut Sri Edi, di usia ke 90 tahun Tamansiswa tidak akan bisa maju, jika semua anggotanya tidak menginginkan Tamansiswa bangkit kembali. "Saya lepaskan banyak jabatan di Jakarta. Saya dua kali dalam satu bulan ke Yogyakarta . Mari kita syukuri 90 tahun ini momentum besar semoga kita berhasil," tegasnya.
Menurutnya, Tamansiswa sangat dihormati oleh negara. Banyak simbol dan ajaran Tamansiswa yang dipakai oleh negara terutama di dunia pendidikan.
Salah satunya adalah simbol atau logo Tamansiswa yang dipakai sebagai logo Kementrian Pendidikan Nasional begitupula ajaran Tut wuri handayani yang juga sudah jadi merk Kementrian Pendidikan Nasional. "Sekarang apa yang bisa diberikan Tamansiswa untuk negara," tegasnya.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya yang mewakili Walikota Yogyakarta mengatakan, Pemkot Yogyakarta telah menerapkan motto Ki Hadjar Dewantara yaitu niteni, nirokke dan nambahi sebagai atribut pendidikan di Yogyakarta.
"Di Yogya juga telah dicanangkan gerakan moral masyarakat terkait kemandirian masyarakat adalah segoro amartho (semangat gotong royonga agawe majuning Kutho Ngayogyokarto). Ini bukan sebuah program tapi sebuah
Ini senyampang dengan semangat Ki Hadjar Dewantoro tentang kemandirian, kebersamaan, kedisiplinan," terangnya.