Selasa 03 Jul 2012 15:08 WIB

Memberantas Korupsi, Fatwa Jadi Acuan

Rep: m akbar wijaya, m hafil/ Red: M Irwan Ariefyanto
Korupsi (ilustrasi)
Foto: dudipalba.wordpress.com
Korupsi (ilustrasi)

JAKARTA — Lembaga penegak hukum makin percaya diri dalam melakukan upaya perampasan aset koruptor. Mereka tak hanya mendapat landasan peraturan perundangundangan, tapi juga dukungan fatwa ulama. Fatwa tersebut mewajibkan negara merampas hasil korupsi.

Harta rampasan dari para koruptor itu harus bisa bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung adanya fatwa ulama tentang perampasan aset koruptor ini. KPK selama ini terus memburu harta-harta milik koruptor. “Konstruksi fatwa ulama dan hukum yang digunakan KPK itu sebenarnya sudah kita lakukan,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.

Johan mencontohkan, KPK sudah melakukan pemblokiran harta milik koruptor. Pemblokiran itu hanya pada harta hasil tindak pidana korupsi. Soal pengembalian harta koruptor berupa uang, kata Johan, sejauh ini putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi tak terpengaruh meskipun koruptor telah mengembalikan uangnya.

Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, putusan dalam pengadilan merupakan hak hakim. Gayus tidak menyebut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu akan menjadi rekomendasi hakim dalam putusan terhadap para pejabat korup. “Itu (putusan hakim) kan hak kami, saya tidak bisa menanggapinya. Karena itu sudah sesuai hukum,” ujarnya.

Menurut Burhanuddin Abdullah, yang pernah terjerat kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI), konsep perampasan aset koruptor harus dipertegas karena tidak semua harta dari orang yang terlibat kasus korupsi dapat disita negara. “Ini hanya permasalahan ba hasa. Tapi kan harus dibuktikan mana (harta) yang hasil korupsi,” kata Burhanuddin, Senin (2/7).

Burhanuddin menyetujui aset-aset milik pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi disita negara. Menurut mantan gubernur BI ini, pembuktian aset kekayaan milik pejabat ini dapat dilihat dari adanya bukti berupa surat-surat kepemilikan yang sah. Aset-aset ini, ujarnya, dapat dilakukan pelacakan oleh penegak hukum. “Jika diambil dari sumber yang tidak sah, ya harus disita, tapi kan harus dibuktikan dulu,” ujar Burhanuddin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement