REPUBLIKA.CO.ID, MYANMAR - Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi menolak perintah pemerintah Myanmar agar berhenti menyebut negaranya "Birma." Nama suku besar, yang banyak digunakan juru kampanye demokrasi untuk menentang penguasa itu dianggapnya sah sah saja.
Penguasa lama mengganti nama resmi negara itu sekitar dua dasawarsa lalu menjadi Myanmar, dengan menyatakan "Birma" adalah peninggalan pemerintahan jajahan -Inggris- dan menyiratkan negeri beragam itu hanya milik suku besar Birma.
Panitia pemilihan negara itu pada pekan lalu "menghukum" Suu Kyi atas berulang kali menggunakan nama tersebut selama lawatan luar negerinya baru-baru ini, menuduh dia dan lawan Liga Bangsa untuk Demokrasi (NLD) melecehkan undang-undang dasar.
Tapi, Suu Kyi kepada wartawan di Yangon menyatakan akan tetap menyebut negara itu dengan nama apa pun yang ia ingingkan.
"Dalam negara demokratis, sesuatu harus dilakukan setelah melihat keinginan rakyat," katanya Selasa (3/7), dengan menambahkan bahwa tentara mengganti nama negara itu tanpa berembuk.
"Kebebasan berbicara dan hak mengutarakan pikiran secara bebas tidak menghina siapa pun. Itu juga tentang asas demokrasi dan kebijakan," katanya. "Jadi, saya menganggap dapat menggunakan apa pun yang saya ingin gunakan, karena saya percaya demokrasi," katanya.
Suu Kyi dan NLD menentang keras perubahan nama itu, mencela dengan menyebutnya lambang upaya para jenderal menciptakan negara baru.
Pemimpin dunia juga bingung bagaimana menyebut nama negara itu, yang muncul dari berdasawarsa pemerintahan tentara di bawah bimbingan pembaru Perdana Menteri Thein Sein.
Perdana Menteri Inggris David Cameron menyebut negara itu "Birma", sementara pidato Presiden Amerika Serikat Barack Obama baru-baru ini juga menyebut nama jajahannya.
Tapi, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton memilih lebih diplomatik dalam perjalanan ke negara itu pada Desember, dengan menggunakan nama Birma, tapi secara umum lebih memilih menghindari masalah dengan mengatakan "negara ini".
Bamar/Birma adalah suku besar di Myanmar dengan jumlah duapertiga dari penduduk Myanmar. Suku itu beragama Buddha dan menghuni sebagian besar wilayah negara tersebut, kecuali pedesaan.
Meskipun Suu Kyi saat berkampanye di daerah suku kecil menjelang pemilihan umum mengenakan busana suku kecil setempat, partainya dikuasai suku terbesar dan berkuasa Birma, yang mendominasi suku kecil.
Suku itu diduga merasa "kehilangan" jika nama negara tersebut berubah.