REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah membuktikan, kebahagiaan menjalankan syariat Islam hanya dapat diperoleh dengan terwujudnya akhlak yang baik.
Keterputusan hubungan antara pelaksanaan syariah dengan akhlak atau sebaliknya, merupakan hal yang dapat menghancurkan jiwa dan kehidupan manusia.
Akhlak yang dituntut untuk dipelihara adalah akhlak yang merupakan pilar agama di sisi Allah. Jadi, bukan sekedar mengetahui bahwa kebenaran adalah mulia dan kebohongan adalah hina, keikhlasan adalah sesuatu yang agung dan tipu daya adalah suatu kehancuran. Juga bukan sekedar teori atau obrolan antarmanusia.
Akhlak yang dituntut adalah reaksi jiwa dan pengaruhnya terhadap jiwa itu sendiri. Yakni, segala sesuatu yang sepatutnya dilakukan, maka dilakukannya, dan segala sesuatu yang tidak pantas dikerjakan, maka ditinggalkannya. Jadi, akhlak dalam pengertian ini adalah benteng bagi pelaksanaan seluruh syariat Islam.
Karena itu, Islam sangat mementingkan akhlak, sehingga Rasulullah SAW menjadikan akhlak sebagai pokok risalahnya, sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari).
“Sesuatu yang paling berat dalam timbangan pada hari kiamat adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. At-Turmudzi).
Untuk membentuk akhlak mulia dalam bentuk lahiriyah, hendaknya dimulai dari pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), sehingga hasilnya akan kekal.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Apabila gumpalan darah itu baik, maka akan menjadi baiklah seluruh tubuh, tetapi jika ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, bahwa ia adalah hati.” (HR. Muslim).