REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Kepala Arsip Nasional M Asichin menuturkan pembukaan kembali arsip tentang Gerakan 30 September (G 30 S PKI) kepada masyarakat umum harus memiliki payung hukum yang jelas dan untuk sekarang Indonesia belum memiliki payung hukum tersebut.
"Kan belum ada aturannya, kemudian belum ada undang-undang rahasia negara dan undang-undang keterbukaan arsip," terang Asichin, di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Kamis (5/7).
Ditemui usai membicarakan pengarsipan Gubernur Nusantara dengan Gubernur Jabar di Gedung Sate Bandung, ia menuturkan, pembahasan nasib arsip G 30 SPKI tersebut harus dilalui lewat seminar nasional yang dihadiri banyak tokoh terkait.
"Tokoh terkaitnya itu seperti Komnas HAM, Komisi Informasi Pusat, ilmuwan/ sejarawan dan pemerhati masalah keterbukaan informasi dan unsur lainnya," kata dia.
Menurut dia, pada seminar nasional tersebut untuk memikirkan dokumen G 30 SPKI mana yang bisa dibuka dan mana yang tetap ditutup atau tidak dapat diakses publik. "Jadi pada seminar nasional tersebut akan dicarikan sebuah kisi-kisi arsip G 30 S PKI mana yang bisa dibuka dan arsip mana yang harus tetap ditutup," katanya.
Ia menuturkan, rencananya seminar nasional tersebut akan dilakukan tahun ini. "Rencananya tahun ini dan nanti, saya lupa jadwalnya. Karena kemarin sudah sekali dan nanti setelah itu kita buat aturan-aturannya. Misalnya di luar negeri kan kejadian itu setelah 30 tahun bisa dibuka," beber dia.
Menurut dia, berdasarkan Undang-undang Komisi Informasi Pusat pada prinsipnya semua dokumen bisa dibuka, kecuali yang dinyatakan sebaliknya. "Meski begitu, keterbukaan informasi tidak boleh bertentangan dengan asas national security x dan asas privacy x atau privacy corporate dan privacy personal," ujar dia.
Hal tersebut, lanjut dia, berlaku juga bagi kearsipan nasional. Menurut dia, dalam UU KIP sendiri diatur bahwa ada informasi yang tetap harus ditutup sesuai pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 seperti mengenai rahasia negara atau national security x tadi.