REPUBLIKA.CO.ID,Praktik penyimpang seksual, pergundikan pejabat, menjadi hal wajar di masa kolonial. Batavia yang menjadi pusat kekuasaan Hindia Belanda sempat disebut sebagai kota para nyai atau gundik. Ini karena pada masa itu banyak ditemukan nyai beserta anaknya.
Apakah benar dunia pergundikan pernah eksis di nusantara? Jawab nya, boleh saja ada pi hak yang tidak terima atau marah. Tapi, fakta sejarah jelas menyatakan bahwa situasi ini pernah terjadi. Bahkan, tidak tanggung-tanggung ini terjadi di pusat kekuasaan Hindia Belanda, yakni di Batavia. Pada awal 1800, bertepatan dengan bubarnya kongsi dagang B VOC dan diangkatnya Herman Willem Daendles sebagai gubernur jenderal, di sana didapatkan kenyataan maraknya dunia pergundikan atau pernyaian di kota ini.
Saat itu Daendles khawatir akan kemampuaan pemerintahannya di dalam menahan ekspansi Inggris yang juga mengincar wilayah Hindia Belanda. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi balantentara Inggris bila datang menyerang. Ia beranggapan, sedikitnya jumlah orang Eropa di Kepulauan Nusantara dianggap sebagai kelemahan serius Pemerintahan Belanda.
Kenyataan sejarah ini ditulis dan sekaligus juga terucap oleh penulis Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Bay. Sekitar setahun silam dalam sebuah wawancara dengan penulis, secara terbuka ia mengatakan, memang Batavia pada saat itu sudah layak disebut sebagai kota gundik dan budak. Ini karena hampir semua pejabat pemerintah pasti mempunyai dua hal tersebut. ''Nyai dan budak itulah yang melayani kebutuhan tuan pejabat Eropanya,'' kata Reggie.
Usaha Daendles untuk melipatgandakan kedatangan orang Eropa ke Batavia ternyata tidak efektif. Mau tidak mau ia akhirnya mengarahkan perekrutan tentaranya ke masyarakat di Hindia Belanda. Nah, pada saat itulah dia kemudian terkejut ketika melihat kenyataan banyaknya orang Indo hasil dari kawin campur dan pergundikan yang begitu luas tersebar hingga kalangan pejabat tinggi. Tak cukup dengan itu, Daendels pun semakin merasa heran akan banyaknya anak yang lahir dari hubungan campur yang kebanyakan dari mereka kemudian ditelantarkan sang ayah Eropanya.
Sadar akan fenomena meluasnya pergundikan itu sekaligus demi menyelamatkan kepentingan kekuasaan kolonial-terutama untuk memperoleh anggota tentaranya-maka Daendles kemudian melakukan pengesahan anak-anak Eurasia secara hukum. Anak-anak dari para nyai ini kemudian diakui secara resmi oleh ayah Eropanya. Ini dilakukan Daendels dengan harapan bahwa mereka nanti ketika sudah menjadi tentara akan setia kepadanya.