REPUBLIKA.CO.ID,Namun, usaha Daendles gagal. Pada 1811, jabatan Daendles diganti oleh Jan Willen Janssens yang ternyata hanya berlangsung beberapa bulan sebelum datangnya balatentara Inggris ke Jawa yang dipimpin oleh Raf fles. Dan, tak beda dengan Daendles ia pun melihat ‘kejanggalan’ itu. Ia juga mendapati meluasnya praktik pergundikan hingga ke kalangan elitenya. Bagi Raffles dan para orang Inggris lainnya yang saat itu kebanyakan masih mempunyai landasaran moral sangat konservatif dalam urusan seks, menjalani hubungan dengan perempuan Asia-lebih parah lagi sampai menikahi mereka-adalah merupakan aib yang sangat besar.
Tak cukup hanya dengan prihatin, Raffles mulai menerapkan pelarangan atas praktik aib ini. Bukan hanya itu, bersama istrinya, Olivia, Raffles selaku gubernur jenderal Hindia Belanda saat itu pun berusaha memberi contohnya secara langsung. Ia berpendapat bahwa istri, terutama istri laki-laki yang mempunyai jabatan tinggi, harus melakukan tugas tertentu di masyarakat. Olivia mendapat tugas penting resmi untuk menjalin kontak dengan pejabat tinggi pribumi dan Eropa di Hindia Belanda.
Akibat kebijakan ini, para pejabat dan penduduk Belanda lama di koloninya pun terpaksa mengikutinya. Mereka juga semakin sering tampil ke luar bersama istri yang juga semakin terlihat dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, kebijakan Raflles ini sempat menjadi tren dan terus berlangsung hingga beberapa dasawarsa ke depan.
Namun, seperti yang ditulis Reggie Bay, sikap orang Inggris yang tak membenarkan pergundikan di Hindia Belanda ini tidak serta-merta menjamin lenyapnya pergundikan di bawah pemerintahan mereka. Warga Inggris pun terkadang hidup secara terang-terangan dengan gundik Asia. Bahkan, ketika itu ada cerita soal pergundikan yang kemudian menjadi kisah monumental, yakni kisah antara tuan putih asal Inggris Edward Wiliiam dengan Nyai Dasima.
Namun, bila mundur ke masa dua ratus tahun sebelumnya, menyebarnya usaha untuk memberantas praktik pergundikan diHindia Belanda (Batavia) sudah pernah dilakukan. Kemunculan praktik nyai di kota ini dimulai dari kedatangan para peragawati VOC di Nusantara sekitar 1600. Apalagi, hingga masa-masa berikutnya, kota pendudukan ini sempat mengalami masa kelangkaan perempuan Eropa. Akibatnya, urusan rumah tangga hingga pemenuhan kebutuhan seksual dari para pejabat kolonial yang kebanyakan datang dengan status masih lajang itu digantikan perannya oleh orang Asia.
Pada awalnya memang tidak ada orang Jawa yang menjadi nyai. Para perempuan ini didatangkan dari daerah kolonial lain, seperti India, Sulawesi, Filipina, Su lawesi, dan Bali. Mengapa demikian? Ini karena para pejabat VOC khawatir mereka akan terkena sabotase bila mempunyai gundik yang berasal dari Jawa.
Selaku Gubernur Jenderal, Jaan Pieterszoon Coen, jelas merasa khawatir akan meluasnya pola hidup bersama lelaki Eropa dengan para budak perempuan pribumi (nyai). Ia malah melihat praktik menyimpang ini sebagai suatu ancaman terhadap keberadaan pemerintahan kolonial. Maka, Coen menjadi marah, kemudian mengeluarkan larangan untuk memelihara seorang atau lebih gundik di rumah pejabatnya. Larangan ini berlaku pada 11 Desember 1620.
Usaha untuk mengatasi kelangkaan perempuan Eropa diantisipasi Coen dengan mendatangkan perempuan Ero pa melalui Heren van de Com pagnie. Para perempuan yang akan didatangkan ke Hindia Belanda itu haruslah para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan diutamakan yang pernah dididik secara ketat di panti asuhan. Sebelumnya juga Coen mengeluarkan kebijakan membawa perempuan lajang Eropa ke Hindia Belanda dan mempunyai ke wa jiban menikah dengan para pega wai VOC. Sebagai kompensasinya, mereka akan mendapat pelayaran gratis beserta mas kawin.
Setelah berlangsung beberapa la ma, ternyata usaha Coen tetap tak menuai hasil. Jumlah pergundikan di wi layah kolonial ini tidak berkurang secara signifikan. Apalagi, dia mendapati kenyataan bahwa perempuan lajang yang dahulu didatangkan dari Eropa untuk kawin dengan pejabat VOC malah hanya membuat masalah. Menurut dia, mereka hanya mabuk-mabukan dan bertindak di luar aturan Tuhan.
Usaha penertiban moral pejabat dan pegawai pemerintahannya pun gagal total. Apalagi, pada saat itu timbul pemikiran, anak-anak yang lahir di Hindia Belanda dari hubungan sesama orang kulit putih tidak tahan terhadap iklim tropis dan sering sakit-sakitan. Akibatnya, mereka yang menentang Coen berpendapat lain: jika Hindia Belanda harus menjadi koloni maka perkawinan antara lelaki kulit putih dan perempuan Asia harus diutamakan.
Tak cukup hanya dengan alasan politik kekuasaan itu, mereka yang kontra terhadap pelarangan Coen itu juga memakai alasan langkanya pengiriman perempuan dari Belanda ke Nusantara sehingga praktik ‘pernyaian’ hendaknya dibiarkan saja. Sikap ini kemudian didukung oleh Gubernur Jenderal Carel Reyniersz (memimpin Hindia Belanda dari 1650-1653) dan penggantinya, Joan Maetsuyker. Ke duanya malah memberikan dukungan kuat adanya perkawinan antara pega wai VOC dan perempuan Asia atau Eu ra sia (indo). Salah satu alasannya, para pe rempuan Asia lebih meng untungkan dikawini daripada pe rem puan Eropa karena untuk membiayai hidup mereka itu lebih murah. Alhasil, kebijakan Coen untuk menerapkan praktik kolonialisasi massal laki-laki dan perempuan kulit putih itu gagal total.