REPUBLIKA.CO.ID,TEHERAN -- Sanksi terhadap bank central Iran yang disuarakan Amerika Serikat dan Uni Eropa, membuat sejumlah pengusaha Indonesia ragu-ragu berdagang ke negara Mullah ini. Duta Besar Republika Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit, di Kantor KBRI Teheran, Iran, kepada wartawan Republika Online, Ajeng Rizki Pitakasari mengatakan sanksi itu tak lantas berlaku pada bank-bank Iran yang lain. "Bank-bank Iran kan banyak dan saya juga sudah mencari tahu potensi dari Indonesia, bank-bank kecil bisa dimanfaatkan karena bisa menghindari pantauan AS," ujarnya.
Dian pun pernah langsung menanyakan perihal itu kepada Bank Indonesia (BI). "BI menjawab bahwa mereka tak pernah menerapkan pelarangan bahkan sekedar pembatasan terkait transaksi perdagangan dengan Iran."
Ironisnya, kata Dian, pengusaha Indonesia yang takut mengambil jalan memutar, menggunakan perusahaan Malaysia, atauThailand, misal perdagangan komoditas kelapa sawit.. "Kalau begitu siapa yang diuntungkan dulu? Devisa lari ke mana kalau bukan Malaysia?"
Indonesia, ujarnya, harus lebih aktif melakukan perdagangan dengan Iran. Mengapa? "Kalau bilang sanksi, sampai berapa lama sanksi akan berjalan. Sanksi pasti ada akhirnya. Bila itu berakhir dan kita baru mulai, Indonesia akan terlambat. Saat ini saja Indonesia sudah kalah dengan Malaysia," ujar Dian.
Apalagi, Iran adalah negara yang terus berkembang, Rata-rata pendapatan perkapita Iran memang jauh lebih tinggi, yakni 12.800 dolar AS dibanding Indonesia yang berada di 3.509 dolar AS per tahun.
Agresivitas Iran, menurut Dian, juga tercermin dari kecenderungan sikap saat ini terhadap calon mitra dagang. "Kalau orang mau berdagang mereka akan bertanya 'Apa yang kamu punya? Jika mereka memiliki kebutuhan yang dimiliki negara lain maka mereka bekerjsam, tetapi Iran sudah bertanya, 'Apa yang Anda Mau. Itu karena mereka pun siap untuk memenuhi permintaan calon partnernya, termasuk berinvetasi.|"
Soal cara, ia menganggap solusi bisa dicari untuk mengakali sanksi. "Cara seperti yang ditempuh negara-negara BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina pun bisa ditiru. yakni tiap negara melakukan perdagangan dengan mata uang mereka langsung tanpa perlu perantara dolar yang menjadi praktik internasional saat ini," ujarnya.
Tapi sekali lagi, ia menekankan bahwa kedua pihak perlu ketemu. "Percuma kalau saya ngecap di kadinnya sini (Iran) lalu ngecap juga di depan Kadin Indonesia, yang ada mereka cuma mengangguk-angguk. Tidak pernah bisa membahas apa sebenarnya yang dibutuhkan dan diinginkan satu sama lain."
Turisme
Ternyata bukan hanya perdagangan, dalam sektor pariwisata pun, hubungan Indonesia-Iran kalah bersaing dengan Iran-Malaysia dan Iran-Singapura. "Rata-rata pertahun wisman Iran ke Indonesia hanya 18 ribu orang, dibanding yang datang ke Malaysia bisa mencapai 180 ribu orang, sementara turis Iran yang ke Thailand mencapai 140 orang." "Potensi itu, sangat besar. Apalagi dalam situasi saat ini dalam himpitan tekanan dan krisis, saat berlibur mereka ingin suasana baru yang benar-benar menyegarkan." tutur Dian. Karena bosan dengan suasa di sekitar mereka pun pergi ke Asia Tenggara.
"Saya tanya kepada mereka, berapa rata-rata pengeluaran saat melancong, ternyata sekitar 2.500 dolar AS. Saya katakan kepada mereka, seribu hingga seribu lima ratus dolar anda belikan untuk tiket, lalu seribu lagi untuk wisata di Indonesia lima hari, anda sudah bisa mendapat layanan istimewa," tutur Dian. "Coba bayangkan cuma satu jam penerbangan lagi ke Indonesia, kita bisa menawarkan lebih tapi kita kalah."