Ritual dan ajaran Khalwatiyah
Ajaran tarekat sufi yang disampaikan oleh Mushthafa ibn Kamal Al-Din Al-Bakri banyak diambil dari sang guru, Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin Al-Halabi.
Berbagai ritual yang dijalankan oleh Syekh Abdul Latif telah memberi pengaruh pada pemikiran ataupun praktik kehidupan Al-Bakri sehari-hari.
Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, tiga unsur dalam ajaran Al-Bakri-lah yang barangkali turut memberi andil dalam menghidupkan kembali Tarekat Khalwatiyah.
Ketiga unsur tersebut adalah tuntutan kepatuhan yang eksklusif pada tarekat dan disiplin yang ketat dalam menjalankan amalan Khalwatiyah; partisipasi orang awam dalam ritual tarekat; dan ketaatan pada syariat.
Sebagai tarekat yang berorientasi pada syariat, Khalwatiyah menekankan penggabungan pengetahuan ('ilm) dan praktik ('amal). Ia juga menuntut pengikatan hati (rabth al-qalb) seorang murid kepada guru (syekh) sedemikian rupa sehingga hubungan antara keduanya harus lebih erat daripada hubungan antara seorang ayah dan anak.
Selain melakukan khalwah (mengasingkan diri), berbagai amalan praktis lainnya yang diajarkan dalam Khalwatiyah adalah berdiam diri (shamt), menjaga diri (sahar), mengingat Allah SWT (zikir), dan membaca secara berjamaah (Wirid Alsattar). Wirid ini merupakan pusat dan puncak ritual Khalwatiyah.
Seperti tarekat sufi lainnya, Tarekat Khalwatiyah juga mengenal sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama). Yakni, tujuh macam zikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap murid (salik).
Zikir pertama adalah La Ilaaha Illallah (pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah SWT). Zikir pada tingkat pertama ini disebut an-Nafs al-Ammarah (nafsu yang bermuara pada keburukan dan amarah). Jiwa pada tingkatan ini dianggap sebagai jiwa yang paling kotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat, seperti mencuri, berzina, membunuh, dan sebagainya.
Kedua, Allah SWT. Pada tingkatan kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya serta menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.