Sabtu 14 Jul 2012 03:30 WIB

Tragedi Air France 447 Akibat Pilot Kurang Pengalaman

Rep: rahmad budi harto/ Red: M Irwan Ariefyanto
Air France
Foto: AP
Air France

REPUBLIKA.CO.ID,PARIS -- Teknologi seharusnya mempermudah, namun jangan sampai memanjakan. Kalimat di atas tepat disematkan pada hasil investigasi kecelakaan pesawat Airbus A-330 seri 200 Air France penerbangan 447 yang jatuh di Samudra Pasifik saat terbang dari Rio de Jenairo ke Paris, pada 1 Juni 2009 lalu. Laporan resmi yang dirilis mencantumkan faktor kesalahan pilot, sensor pesawat yang tak berfungsi, kurangnya pelatihan dan pengawasan menjadi kombinasi maut yang telah menewaskan 228 penumpang dan awak pesawat Air France 447 itu.

Kecelakaan ini telah menimbulkan ketegangan antara asosiasi pilot Air France dan pabrik pesawat Airbus mengenai siapa yang harus disalah kan dalam kecelakaan pesawat terburuk yang menimpa maskapai nasional Prancis itu. Dari black box pencatat data penerbangan yang ditemukan dua tahun setelah kecelakaan, pesawat nahas itu jatuh ke lautan empat menit setelah mengalami stall atau kehilangan ketinggian secara cepat ketika masuk awan badai.

Biro Penyelidikan dan Analisis Keselamatan Penerbangan Prancis (BEA) menyatakan bahwa kru pesawat telah merespons secara keliru alarm peringatan stall yang terus-menerus berbunyi ketika pilot menaikkan hidung pesawat sesaat setelah mode pilot otomatis (auto pilot) di pesawat pindah ke mode manual di dalam kondisi badai. Komputer penerbangan mematikan mode auto pilot karena terjadinya kesalahan input data dari sensor pembaca kecepatan terbang yang rusak setelah masuk awan badai. ‘’Kecelakaan ini terjadi karena pesawat dibawa melebihi batas kemampuan terbangnya oleh kru yang tak mengerti situasi,’’ kata Direktur BEA Jean-Paul Troadec.

Airbus A330 merupakan salah satu pesawat jet penumpang paling canggih, dilengkapi komputer pengendali penerbangan yang mengambil alih sebagian besar tugas pilot ketika dalam penerbangan jelajah. Saking canggihnya, Airbus menjuluki produk unggulannya itu sebagai pesawat yang ‘tak bisa stall’. Selain canggih, Air France 447 dikendalikan oleh tiga pilot. Kapten pilot Marc Dubois adalah seorang penerbang veteran berusia 58 tahun dengan lebih dari 11 ribu jam terbang, ditemani dua kopilot yaitu Piere Cedric Bonin (32 tahun) dan David Robert (37).

Selepas 50 mil dari garis pantai Brasil, pesawat Air France 447 terbang menuju wilayah badai. Ketika pesawat lain memilih jalur memutari badai, Marc Dubois tetap memilih terbang lurus menembus badai. Bonin ketika itu menyaksikan petir menyam barnyambar di langit mene rangi kokpit pesawat. Dubois meyakinkan bahwa petir itu hanyalah Api St Elmo, fenomena yang biasa ditemukan saat badai yang penuh partikel es.

Sejurus kemudian, dengan tanpa rasa khawatir akan badai petir itu, kapten menyerahkan kursi kiri kemudi pesawat kepada David Robert untuk kemudian dia beristirahat. Pesawat kini berada di tangan Robert dan Bonin dalam kondisi terbang otomatis atau menggunakan auto pilot. Meskipun tergolong pilot junior, Bonin sempat mengungkapkan rasa percaya dirinya karena terbang dengan A330 yang dinilai lebih baik dalam terbang jelajah dibanding pesawat yang lebih besar, A340.

Tanpa disadari, mereka memasuki konvergensi inter-tropikal, sebuah area dekat ekuator yang selalu diisi oleh cuaca buruk dengan awan badai yang menjulang sampai stratosfer di ketinggian 20 kilometer. Para pilot alpa mempelajari pola badai di peta perjalanan sehingga tak meminta kepada menara pengendali lalu lintas udara untuk mengambil jalur terbang memutari badai.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement