REPUBLIKA.CO.ID, Kitab Uyun Al-Atsar karya Muhammad bin Abdullah bin Yahya atau dikenal dengan Ibnu Sayyid An-Nass, mencoba merangkum mulai dari seni perang hingga sirah Rasulullah.
Karya monumental lainnya di bidang sirah Rasulullah pernah disumbangkan masing-masing oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Hisyam lewat As-Sirah an-Nabawiyyah.
Dan dalam kitab bertajuk Jawam’ As-Sirah, Ibnu Hazm mencoba berkonstribusi dalam penulisan sirah Rasulullah.
Begitu halnya dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dengan karyanya Zaad Al-Ma’ad. As-Syuthi pun tak mau ketinggalan dengan menulis kitab berjudul As-Syamail As-Syarifah.
Berbagai karya yang ditulis oleh kalangan salaf (zaman lama) itu pun lantas dikembangkan oleh para penulis kontemporer. Namun, apa yang disumbangkan para penulis kontemporer, pada prinsipnya merupakan ikhtiar melengkapi dan mengkorelasikan nilai-nilai penting dari sirah ke dalam konteks kekinian.
Kekosongan inilah yang tampaknya coba ditutupi oleh Syekh Musthafa Husni As-Siba’i, seorang ulama terkemuka asal Homsh (Suriah), lewat kitab yang diberi judul As-Sirah An-Nabawiyyah; Durus wa Ibar.
Mahakarya seorang tokoh yang tutup usia pada 1964 itu mencoba mengungkap intisari dan pelajaran berharga di balik setiap peristiwa yang pernah dilalui Rasulullah dan diabadikan sejarah.
As-Siba’i tidak menguraikan tiap kejadian yang dialami oleh Rasulullah. Fokusnya tertuju pada fakta-fakta penting sejarah, mulai dari sebelum risalah kenabian diturunkan hingga momen Haji Wada’. As-Siba’i setidaknya telah berupaya mengaktualisasikan nilai di balik sirah dan keteladanan Rasulullah.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).