REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan ancaman separatis di Papua tidak akan membuat kasus korupsi di Bumi Cendrawasih dibiarkan. Namun keterbatasan SDM menjadi salah satu penghambat.
Wakil Ketua KPK Zulkarnaen mengakui, pihaknya pernah mendapat ancaman memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari sejumlah oknum yang terindikasi terlibat korupsi jika KPK mengusut kasus korupsinya.
"Kalau KPK mengusut kasus kami, kami merdeka," kata Zulkarnaen menirukan ancaman dari pihak yang terlibat korupsi di Papua, Senin (16/7).
Namun, Zulkarnaen mengaku bahwa pihaknya tak terpengaruh dengan ancaman itu. Apalagi, saat ia beberapa waktu lalu ke Papua untuk menghadiri seminar, ada dukungan dari rakyat Papua supaya ancaman itu tidak mempengaruhi KPK.
"Jangan terpengaruh, itu hanya ancaman belaka. Tidak ada sangkut pautnya pengusutan kasus korupsi dengan ancaman kemerdekaan Papua," kata Zulkarnaen kembali menirukan pihak di Papua yang mendukung KPK mengusut kasus korupsi di Bumi Cendrawasih itu.
Namun, Zulkarnaen mengakui, bahwa mengusut kasus-kasus korupsi di KPK bukan pekerjaan yang mudah. Jauhnya jarak yang ditempuh , biaya yang tak sedikit, dan kekurangan SDM membuat KPK sulit untuk merealisasikan upaya pemberantasan korupsi di sana.
"Ya bayangkan saja, penyidik kita itu sedikit. Untuk melakukan pengusutan kasus di sana, banyak penyidik yang dikirim dan memerlukan waktu lama. Kalau seperti itu, ada banyak kasus-kasus korupsi lainnya yang sedang ditangani menjadi terbengkalai," kata Zulkarnaen.
Untuk diketahui, jumlah pegawai KPK mencapai 700 orang. Sedangkan jumlah penyidik dan jaksa rata-rata berjumlah 70 orang. Kesemuanya itu berasal dari kepolisian untuk penyidik dan kejaksaan untuk jaksa.