REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Lembaga Observatorium Bosscha menilai bisa atau tidaknya hilal dilihat sangat dipengaruhi kondisi cuaca. Pengaruh ini telah berlangsung sekitar tiga puluh tahun belakangan.
Peneliti Observatorium Bosscha Hakim Lutfi Malasan, mengatakan kondisi cuaca semakin sulit diprediksi sejak 1980. Itu karena polusi cahaya yang kerap diakibatkan semakin padatnya bangunan maupun permukiman penduduk.
"Di sekitar Bosscha sudah banyak bangunan rumah maupun hotel," kata dia, Kamis (19/7).
Menurut Hakim, kondisi itu kerap membuat pengamatan astronomi dari Observatirium Bosscha di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, terkendala. Meski begitu, permukiman penduduk bukan salah satu faktor yang membuat labilnya kondisi cuaca. Namun bisa diakibatkan pencemaran lingkungan dan faktor alam lainnya.
Secara ilmu pengetahuan, kata dia, peneliti astronomi sejak dahulu bertugas memberikan informasi tentang pengamatan luar angkasa, khususnya ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Karenanya, sejak 2007 Bosscha bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk memperkuat basis sidang isbat di Indonesia.
Hakim mengatakan, kerja sama itu untuk menyuplai informasi dan data tentang pengamatan hilal kepada pemerintah. Caranya, dengan menjaring pengamatan hilal di 18 titik wilayah di Indonesia. Titiknya dimulai dari Pantai Lokna, Banda Aceh hingga Pulau Biak, Provinsi Papua.
Menurut dia, Indonesia mempunyai keunggulan dalam pengamatan tersebut karena memiliki tiga zona waktu. Ke-18 titik itu pun untuk menjaring bila posisi hilal tidak terlihat di salah satu titik.
"Mendapat data dari berbagai lokasi," ujar Hakim.
Pengamatan di sejumlah titik itu juga bisa disaksikan oleh masyarakat dengan koneksi internet. Bosscha menyajikannya dalam bentuk laman web streaming. Jadi, kata Hakim, hilal juga bisa disaksikan oleh masyarakat.
"Pada dasarnya penampakan hilal harus diketahui masyarakat," kata mantan Kepala Observatorium Bosscha era 2010/2011 itu.