REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan "legal standing" (kedudukan hukum) pemohon pengujian Pasal 11 ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI).
"Apakah Anda dikekang atau diperlakukan diskriminatif oleh Pasal 11 ayat (2) (UU DKI) itu. Nanti hakim akan menilai apakah Saudara benar-benar memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena permohonan Saudara bercampur baur antara uraian legal standing dengan pokok perkara," kata Anggota Majelis Hakim Panel Harjono, saat sidang perdana pengujian UU DKI di Jakarta, Jumat.
Permohonan uji materi Pasal 11 ayat (2) UU DKI diajukan oleh tiga orang warga DKI yakni Abdul Havid Permana, Mohammad Huda dan Satrio Fauzia Damardjati. Ketiganya mendalilkan, KPU DKI telah dengan sengaja menggunakan aturan yang saling tumpang tindih dalam pelaksanaan Pilgub DKI.
Sidang pengujian UU DKI yang mempermasalahkan pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI dua putaran ini diketuai oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva didampingi anggota Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Harjono juga menyinggung posisi pemohon dalam permohonan pasal Pilkada DKI, yakni berada di pihak Jokowi-Ahok atau di luar pasangan tertentu. "Apakah Anda terkait Jokowi-Ahok, atau 'tutup mata' dengan pasangan Pilkada DKI mana pun?" katanya.
Harjono menambahkan, Pemohon mendalilkan Pilkada DKI dengan perolehan suara 50 persen telah melanggar hak konstitusionalnya, namun tidak memberikan bukti terkait dalil itu.
"Saudara harus membuat pembuktian bahwa pelaksanaan Pilkada DKI dengan perolehan suara harus 50 persen untuk satu putaran merugikan hak konstitusional saudara," kata Harjono.
Harjono juga mempertanyakan dasar pemohon mengajukan permohonan untuk menghapuskan Pilkada DKI putaran kedua dengan menggunakan hasil perhitungan cepat (quick count). "Putaran kedua itu dasarnya rekapitulasi, bukan quick count," katanya.
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menagatakan bahwa pemohon harus merumuskan ulang, bahwa pemohon ini dirugikan hak konstitusionalnya. "Sederhana saja, karena 'legal standing' sebagai pintu masuk agar permohonan dapat diperiksa," kata Hamdan.
Ketua majelis panel ini juga mengatakan bahwa pemohon harus bisa menunjukkan dengan alasan rasional yang tepat bahwa ayat 11 UU DKI bertentangan dengan UUD 45.
Hamdan juga menanyakan alasan pengujian UU DKI yang tidak sinkron dengan daerah lainnya.
"Apakah persoalannya hanya karena tidak sinkron dengan daerah lain sehingga bertentangan dengan UUD 1946? Padahal, banyak norma dalam UU DKI yang tidak sesuai dengan daerah lain. Kenapa perbedaan yang lain tidak saudara uji juga?" kata Hamdan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan permohonan pemohon tidak menjelaskan tentang alasan permohonan terkait penggunaan pajak tidak efisien dan pemohon keberatan untuk mendatangi lagi TPS pada putaran kedua Pilgub DKI.
"Kedua alasan permohonan ini bisa saja dimohonkan, tetapi titik tekannya ada di mana?" kata Anwar. Untuk itu, majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Salah satu kuasa hukum pemohon, Iwan Prahara, mengatakan pihaknya akan memperbaiki permohonan sesuai dengan saran yang disampaikan oleh ketiga hakim.
Dalam permohonannya, Iwan mengatakan bahwa para pemohon menilai Pilgub putaran kedua dengan anggaran Rp 200 miliar merupakan penghambur-hamburan uang.
Para pemohon meminta MK Pasal 11 ayat (2) UU DKI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. Menurut pemohon, Pasal 11 ayat (2) UU DKI tidak sinkron dengan Pasal 107 ayat (2) UU nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Bunyi lengkap Pasal 11 ayat (2) UU 29/2007: "Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama".
Sedangkan Pasal 107 ayat (2) UU Pemda menyatakan "Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30 persen dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih".