REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SBY dinilai salah memilih Kapolri dan Jaksa Agung sehingga gangguan kamtibmas semakin meresahkan. Proses penegakkan hukum semakin lamban. Pascareformasi, penegakkan supremasi hukum hanya menjadi angan-angan.
"Ini semua salah SBY sendiri. Dia yang menepuk air kemudian nyiprat ke mukanya sendiri," jelas Ketua Presidium ICW, Neta Sanusi Pane, saat dihubungi, Rabu (25/7). Dia mengatakan hulu penegakkan hukum adalah Polri. Kemudian ada kejaksaan, baru kemudian hilirnya pengadilan yang dimotori hakim.
Kepolisian, dinilainya belum maksimal dalam penegakkan hukum karena pemimpinnya dinilai tidak memiliki ketegasan dalam bertindak. Begitu juga dalam proses hukum di kejaksaan agung baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan dinilai belum maksimal, karena memang yang memimpin institusi itu dianggapnya bukan orang yang tepat.
"Institusi penegakkan hukum harus dipimpin orang-orang berani, bukan orang-orang yang pilih kasih," paparnya. Kalau mengevaluasi penegakkan hukum, kemudian hasilnya gagal, berarti presiden salah memilih pejabat yang bertanggungjawab dalam hal itu.
Neta menyatakan benar kata SBY bahwa di masyarakat saat ini Kamtibmas semakin meresahkan. Negara seperti tidak ada hukum. Orang bisa berbuat sewenang-wenang. Ada sweeping yang dilakukan Ormas mengatasnamakan agama. Penjahat beraksi dengan senjata api. Kesewenang-wenangan dimana-mana. Belum lagi kejahatan kerah putih yang menggurita dan tiada habisnya. "Ini wujud kegagalan dunia hukum di era SBY," papar Neta.