Senin 30 Jul 2012 08:38 WIB

Ensiklopedi Islam: Tradisi Sahur (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
  Sekelompok pemuda membawa beduk dengan gerobak ketika membangunkan warga saat waktu makan sahur di Kampung Kamalake, Desa Panggungjati, Kecamatan Taktakan, Serang, Banten.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sekelompok pemuda membawa beduk dengan gerobak ketika membangunkan warga saat waktu makan sahur di Kampung Kamalake, Desa Panggungjati, Kecamatan Taktakan, Serang, Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan perkembangan wilayah Islam, kebutuhan akan penanggungjawab untuk membangunkan sahur pun mendesak.

Di Mesir misalnya, Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq di era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai Al-Mushirati pertama.

Ini karena pada 238 H, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur. Ia melakukannya dengan berjalan kaki. Tempat permulaannya berada di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat.

Ia meneriakkan ungkapan, “Wahai hamba Allah, sahurlah. Karena sesungguhnya dalam sahur terdapat berkah.” Sejak itulah, profesi Al-Mushirati, sangat dihormati. Hal ini lantaran gubernurnya langsung yang mengawali untuk turun tangan.

Yel-yel yang diteriakkan pun kian bervariatif. Apalagi, di masa Abbasiyah yang terkenal dengan kemajuan di bidang syair. Sebagian liriknya telah menggunakan tata bahasa dan bernilai sastra tinggi. Misalnya, “Ya niyyaman quman,quman lis sahuri quman (wahai orang yang lelap tidur bangunlah untuk sahur).”

Tokoh Al-Mushirati yang paling tersohor dengan penggunaan kalimat itu ialah Ibnu Nuqthah di Baghdad. Khalifah An-Nashir Billah mengagumi kefasihannya dan mengganjarnya dengan upah. Jumlahnya berlipat ganda melebihi upah yang diterima mendiang ayah Ibnu Nuqthah.

Tak hanya dari kalangan Adam. Profesi ini juga digeluti oleh kaum Hawa. Ketika Dinasti Thulun menguasai Mesir (254 H-292 H /868 M-967 M), pemerintah membuka kesempatan bagi para perempuan untuk terlibat juga dalam profesi ini.

Hanya saja ruang geraknya masih terbatas. Mereka melakukannya lewat jendela rumah. Ini pun dengan syarat bahwa perempuan tersebut haruslah bersuara merdu dan figur yang sudah dikenal di kampung.

Dia abad ke-19, nama Alis Ihsan didaulat sebagai perempuan pertama yang menjalankan profesi Al-Mushirati. Kegiatan ini ia lakukan sepeninggal suaminya. Ada dua nama lagi di abad ke-21, yaitu Ummu Jalilah dan Ummu Sahr.

Nama yang pertama, mengambil profesi ini setelah ia ditinggal mati suami. Sementara ia harus menghidupi enam anak. Sedangkan sosok yang kedua, dikenal sudah menjalani kegiatan ini sejak kecil.

Kini, tradisi ini kian redup di sebagian wilayah. Kehadiran teknologi sedikit demi sedikit menggeser kebiasaan tersebut. Teknologi dan media telekomunikasi memberikan alternatif yang lebih efisien dan efektif untuk membangunkan sahur. Dan nasib ‘para pahlawan sahur’ itu pun dipertaruhkan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement