REPUBLIKA.CO.ID, Keberhasilan Kerajaan Ottoman Turki menaklukkan Kosovo merupakan sebuah pencapai yang besar. Apalagi, wilayah itu kaya akan sumber daya mineral.
Tak heran, bila Kosovo menjadi aset penting bagi kesultanan Turki. Selama periode Ottoman, ada upaya yang begitu gencar untuk mempromosikan budaya dan bahasa Albania.
Gerakan anti-Usmani mulai mucul di Kosovo pada 1689 di bawah pimpinan uskup Katolik, Pjetr Bogdani.
Ia mengumpulkan 20 ribu tentara untuk membantu Austria menggempur Turki. Seiring dengan kekalahan yang dialami Kerajaan Usmani dalam Perang Russo-Ottoman pada 1878, Serbia menguasai Mitrovica dan Pristina di Kosovo.
Pada 1912, meletus Perang Balkan I. Albania digempur oleh tentara koalisi Montenegro, Serbia, Bulgaria dan Yunani. Etnis Albania bersekutu dengan Kerajaan Usmani.
Namun, kekuatan musuh lebih kuat, sehingga peperangan dimenangkan pasukan koalisi Serbia. Saat itu, penduduk Kosovo yang kebanyakan etnis Albania melarikan diri ke pegunungan.
Tentara Serbia menghancurkan rumah orang-orang Turki dan Albania. Mereka menjarah dan membunuh. Kosovo pun akhirnya jatuh kembali ke tangan Serbia. Pada Konferensi Duta Besar di London tahun 1912, Inggris memberi kedaulatan kepada Serbia untuk menguasai Kosovo.
Ketika Perang Dunia I meletus, Kosovo diduduki pasukan Austria-Hungaria dan Bulgaria. Warga Kosovo etnis Albania pun ikut mendukung pasukan itu melawan Serbia. Sekolah bahasa Albania dibuka untuk mengikis pengaruh Serbia. Pada 1918, tentara Serbia balas dendam. Tentara Serbia membantai wanita, anak-anak, dan menghancurkan rumah penduduk Kosovo.
Setahun kemudian, perdamaian pun tercapai dengan berdirinya negara baru bernama Yugoslavia yang terdiri dari Slovenia, Kroasia, Serbia, Boznia-Herzegovina, Montenegro, dan Macedonia.
Kala itu, Kosovo kembali berada di bawah sayap Serbia. Saat itu, penduduk Yugoslavia mencapai 12 juta jiwa, 400 ribu di antaranya adalah etnis Albania yang mayoritas beragama Islam.