REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Jaksa Agung, Darmono, menyatakan temuan Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa 1965, bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi atau penyelesaian di luar pengadilan.
"Tapi rekonsiliasi itu asalkan ada bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah," katanya di Jakarta, Senin (30/7) malam.
Sebelumnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965-1966 setelah melakukan pekerjaannya selama empat tahun, menyimpulkan bahwa adanya dugaan pelanggaran tersebut benar terjadi.
Komnas HAM meminta Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan resmi berdasarkan temuan dan untuk membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" untuk membawa pelaku ke pengadilan sebagaimana diatur UU Pengadilan HAM.
Menurut dia, penyelesaian melalui pengadilan dengan menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak bisa dilakukan atau tidak bisa retroaktif.
"Kecuali pada kasus Timor Timur (Timtim) dan kasus Tanjung Priok," katanya.
Jadi, ia menambahkan untuk kasus 1965 itu, tidak bisa terjangkau dengan membentuk pengadilan ad hoc.
"Kalau 1965 itu agak sangat jauh dari landasan hukum kita, lemahlah," katanya.
Kendati demikian, pihaknya akan tetap mengevaluasi hasil temuan penyelidikan Komnas HAM tersebut.
Sebelumnya, Amnesty Internasional meminta Jaksa Agung menyelidiki temuan Komnas HAM terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang bisa dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan dalam konteks Kudeta 1965 yang gagal.
"Penundaan investigasi akan memperpanjang penderitaan korban dan keluarga yang telah menunggu lebih dari empat dekade," kata Campaigner-Indonesia and Timor-Leste Amnesty International Secretariat, Josef Roy Benedict, kepada ANTARA London, Senin.
Menurut Komnas HAM yang menyerahkan laporan projustisia ke Kejaksaan Agung, pejabat pemerintah terlibat dalam penganiayaan sistematis terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan yang diduga simpatisan komunis menyusul Kudeta 1965 yang gagal.
Penyelidikan Komnas HAM selama tiga tahun menemukan bukti bahwa pelanggaran HAM yang luas terjadi secara nasional antara 1965 dan 1966 dan berlanjut sampai awal 1970-an pada tingkat yang lebih rendah.
Komnas HAM mencatat temuan ini memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang didefinisikan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.