Selasa 31 Jul 2012 13:22 WIB

Kartel Diduga Kuasai Impor Kedelai

Rep: m iqbal/ Red: M Irwan Ariefyanto
Kedelai untuk bahan baku tahu
Foto: Edwin/Republika
Kedelai untuk bahan baku tahu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencium praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam impor kedelai sehingga membuat harganya tidak wajar. Karena itu, KPPU sedang melakukan langkah-langkah pengawasan terhadap pola pergerakan harga yang terjadi di pasar kedelai nasional.

Terutama, kata Kepala Biro Humas dan Hukum KPPU Junaedi, pengawasan di basis-basis konsumen kedelai impor yang terkonsentrasi di empat provinsi di Pulau Jawa dan Bali. "Kita sedang bekerja," kata Junaedi.

Ia membandingkan kondisi melonjaknya harga kedelai yang terjadi tahun ini dengan peristiwa serupa yang pernah terjadi empat tahun lalu. Merujuk pada data KPPU tahun 2008, pangsa pasar impor kedelai nasional sebesar 74,66 persen dikuasai oleh hanya dua perusahaan, yakni PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang Cahaya Utama (GCU).

Junaedi menjelaskan, pada 2008 itu, KPPU menduga terjadi pengaturan pasokan oleh kedua perusahaan itu. Namun, setelah dilakukan penyelidikan, indikasi dugaan kartel tidak kuat karena pola pergerakan penjualan tidak memiliki pola keteraturan dan fluktuatif. Dia menjelaskan, kondisi saat ini memiliki kesamaan dengan peristiwa yang terjadi pada empat tahun lalu.

Ketua KPPU Tadjuddin Noer Said mengatakan, penguasaan impor kedelai oleh kedua perusahaan itu dilihat dari perspektif ilmu ekonomi masuk kategori oligopoli. Dia menyebutkan, GCU menguasai pangsa pasar impor kedelai nasional sekitar 47 persen dan Cargill 28 persen.

Menurut Tadjuddin, pangsa pasar kedua perusahaan itu memang hanya 74,66 persen sehingga terpaut tipis dengan batas minimal praktik kartel sesuai peraturan yang dite - tap kan sebesar 75 persen. "Tapi, bukan perhitungan persen itu yang KPPU soroti, melainkan seberapa besar kegiatan atau konsentrasi pa - sar keduanya memengaruhi harga dan merugikan orang banyak."

Adapun importir lainnya pada 2008 itu, di antaranya, PT Citra Bakhti Mulia yang menguasai pasar sebesar empat persen dan PT Alam Agriasi Perkasa sebesar 10 persen. Namun, untuk data terbaru pada 2012, Tadjuddin mengaku belum memilikinya. "Tapi, kami menduga terjadi praktik kartel karena harga kedelai melonjak," ujarnya.

Tadjuddin menilai, kenaikan harga kedelai perlu disikapi dengan pembentukan sistem buffer stock (stok penyangga) kedelai. Sistem ini dianggap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kedelai dengan harga yang sesuai. "Dalam artian, bukan berarti harganya murah, tetapi sesuai dengan daya beli masyarakat," ujarnya.

Tadjuddin menjelaskan, sistem buffer stock dapat dibenarkan dalam ranah persaingan usaha asalkan demi kepentingan masyarakat.

Namun, penerapan sistem ini hanya bisa didasari oleh Undang-Undang (UU), bukan dalam tataran Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement