Selasa 31 Jul 2012 18:57 WIB

Zubair bin Awwam, Pembela Rasulullah (2)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: pantherkut.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Perang Uhud usai dan pasukan Quraisy kembali ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan untuk mengejar pasukan tersebut.

Tujuannya agar mereka mengira kaum Muslimin masih memiliki pasukan cadangan yang masih segar dan siap memulai peperangan baru.

Maka berangkatlah Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh tentara Islam. Kendati kaum Quraisy memperoleh kemenangan di akhir Perang Uhud, namun mereka terkecoh dengan adanya pasukan Abu Bakar dan Zubair yang menyusul.

Seperti yang diperkirakan nabi, kaum Quraisy menyangka itu adalah pasukan inti kaum Muslimin. Karena itu, mereka pun lari tunggang langgang kembali ke Makkah.

Ketika Perang Yarmuk terjadi, Zubair bin Awwam termasuk salah seorang prajurit kaum Muslimin yang memimpin langsung sebuah pasukan. Ketika ia melihat anak buahnya sedikit bergetar, ia pun berteriak, “Allahu Akbar!”

Seketika itu juga ia melompat ke depan, membelah pasukan musuh yang mendekat ke arahnya. Pedangnya berputar-putar bagaikan kincir menebas tubuh musuh-musuh Islam.

Zubair bin Awwam sangat mendambakan mati syahid. Amat merindukan mati di jalan Allah. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia memberi nama setiap anaknya dengan nama-nama syuhada. Anaknya yang bernama Abdullah diambil dari nama syahid Abdullah bin Jahsy.

Ia juga memberi nama anaknya yang lain dengan Al-Mundzir dengan harapan bisa syahid seperti sahabat Al-Mundzir bin Amr. Anaknya yang lain juga diberi nama Hamzah. Ia berharap anaknya itu menjadi syahid juga seperti Hamzah bin Abdul Muthalib yang gugur di medan Uhud.

Begitu juga dengan anaknya, Ja’far mengambil nama Ja’far bin Abu Thalib, pahlawan bergelar Dzul Janahain yang gugur di Perang Muktah.

Kelebihannya sebagai panglima perang tergambar pada dirinya secara sempuma. Sekalipun seratus ribu orang menyertainya di medan perang, namun ia berperang seakan-akan sendirian. Sepertinya, segala tanggung jawab kemenangan berada di atas pundaknya saja. Begitu besar tanggung jawabnya.

Ketika pengepungan Bani Quraizhah (salah satu kelompok Yahudi yang dulunya menguasai Madinah) berlangsung lama tanpa membawa hasil, Rasulullah mengirimnya dan Ali bin Abi Thalib.

Sambil berdiri di depan benteng musuh, ia berseru, “Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang dirasakan Hamzah bin Abdul Muthalib. Atau kalau tidak, kami akan tundukkan benteng mereka.”

Ia pun terjun ke dalam benteng, berdua dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua pahlawan itu berhasil membuka pintu gerbang benteng dan pasukan Muslimin pun menyerbu masuk untuk menyerang musuh.

sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement