REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---AS memasukkan Indonesia ke dalam urutan atau lapis kedua dalam laporan tentang perdagangan orang yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika bulan lalu.
Laporan Deplu Amerika itu juga mengutip laporan Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mengenai adanya tren baru perempuan, termasuk anak-anak, yang dijadikan pekerja seks di lokasi-lokasi operasi tambang di provinsi Maluku, Papua, dan Jambi. Juga dilaporkan adanya peningkatan jumlah anak-anak yang dieksploitasi menjadi PSK di Batam, kepulauan Riau dan Papua Barat.
Deputi Menteri Bidang Perlindungan Perempuan, Luly Altruiswati, tidak menyangkal adanya masalah-masalah tersebut di dalam negeri. “Tidak dinafikan bahwa tindak pidana perdagangan orang juga terjadi di dalam negeri, selain penempatan di luar negeri,” ujar Luly.
Namun, katanya, pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai upaya, termasuk kampanye penyadaran masyarakat, karena banyak kasus TPPO terjadi karena ketidakpahaman masyarakat mengenai bahaya yang dihadapi.
Laporan Deplu Amerika tersebut menyatakan bahwa dalam skala lebih kecil, Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan orang. Dilaporkan lebih dari 25 perempuan dari Uzbekistan dan enam dari Kolombia dipaksa menjadi pekerja seks di Indonesia pada tahun 2011.
Menurut laporan itu, sindikat perdagangan orang di Indonesia bekerja secara independen, dan lainnya bekerja melalui perusahaan-perusahaan perekrut tenaga kerja internasional yang berbasis di Indonesia, dikenal sebagai PJTKI yang sebagian beroperasi seperti jaringan perdagangan manusia yang menjerumuskan pekerja ke belenggu utang sehingga tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kehendak perekrut. Dikatakan, para pelaku perlindungan korban perdagangan orang (TPPO) bisa beroperasi dan seakan kebal hukum karena masalah korupsi yang endemik di antara para pejabat penegak hukum dan kurangnya komitmen untuk menegakkan supremasi hukum.
Laporan Departemen Luar Negeri Amerika mengakui bahwa dalam hal penegakan hukum TPPO, di Indonesia sudah ada undang-undang tahun 2007 yang komprehensif yang intinya melarang semua bentuk perdagangan orang, dan mengenakan hukuman berat, berkisar antara tiga hingga 15 tahun bagi pelanggarnya. Namun dilaporkan bahwa walaupun para penyidik POLRI menggunakan undang-undang itu untuk menyiapkan tuntutan, sebagian jaksa dan hakim masih menggunakan berbagai undang-undang yang lebih dikenal untuk menuntut pelaku tindak pidana perdagangan orang. Juga dilaporkan bahwa polisi dan penegak hukum lainnya mengeluhkan sulitnya berkoordinasi di antara polisi, jaksa, saksi, dan pengadilan untuk sampai pada vonis pengadilan yang berhasil.
Luly Altruiswati mengakui selama ini dirasakan masih ada berbagai tantangan karena perdagangan orang itu bukan fenomena sosial biasa. Menurutnya, penyebab masalah ini sangat kompleks, bukan karena kebodohan dan ketertinggalan semata, tapi adanya sindikat.
Ia menambahkan, untuk mengatasi berbagai kendala itu, Indonesia sudah punya gugus tugas yang melibatkan semua lintas kementerian dan lembaga terkait yang bekerjasama dalam meningkatkan upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang. Namun, ia mengakui implementasi di lapangan masih sering mengalami kendala. “Kendalanya adalah di penegakan hukumnya, karena memang dari kasus yang muncul – yang walaupun itu sifatnya seperti gunung es – sangat sedikit pelaku tindak pidana perdagangan orang yang bisa kita antarkan ke penjara.” kata Luly.
Luly mengatakan, untuk mengatasi berbagai kendala itu, pemerintah melakukan berbagai pelatihan, terutama untuk para penegak hukum sendiri, seperti melalui Lembaga Pendidikan Polisi (LEMDIKPOL) dan lembaga-lembaga terkait lain. Pelatihan itu berkenaan dengan substansi masalah, dengan mengintegrasikan pemahaman kepada para penegak hukum agar mereka memiliki persamaan persepsi.