REPUBLIKA.CO.ID, Lantaran merasa belum mapan secara ekonomi,ada pasangan suami istri yang menunda hubungan suami istri hingga mereka lebih mapan. Bagaimanakah hukum tindakan ini dalam Islam?
Ustaz Bachtiar Nasir menyebutkan, nikah secara bahasa berarti ‘himpunan’ ( adh-dham), kumpulan ( al-Jam’u), atau hubungan intim ( al-wath’u). Secara konotatif, kata nikah merujuk makna hubungan intim. Secara syar’i, nikah adalah akad yang membolehkan hubungan intim dengan menggunakan kata “menikahkan”, “mengawinkan”, atau terjemah keduanya. Pada dasarnya, nikah tidak dianjurkan bagi orang yang tidak mempunyai biaya. Seperti firman Allah yang artinya, “Orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS An-Nur [24] : 23).
Sebagai solusinya, pemuda yang belum sanggup tersebut harus menahan diri dari maksiat dengan berpuasa dan bekerja keras mencari nafkah. Rasulullah bersabda, “Hai para pemuda, siapa di antara kalian telah mampu jima’dan telah sanggup memberi biaya nafkah dan nikah hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih aman bagi mata dan lebih menjaga kemaluan. Dan, barang siapa tidak mampu, hendaklah dia berpuasa karena puasa adalah pelindung.”
Di sinilah peran besar wali, keluarga besar, lembaga zakat atau dermawan Muslim dalam membantu masalah sosial di sekitarnya, sebagaimana diperintahkan Allah SWT, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan, Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Nur (24): 32).