REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengadilan di sebuah daerah di Cina barat yang memiliki penduduk beragama Islam dalam jumlah besar memenjarakan 20 orang hingga 15 tahun karena menggunakan Internet untuk mengobarkan separatisme dan jihad, kata media pemerintah, Kamis.
Putusan pengadilan itu segera dikecam oleh sebuah kelompok yang mewakili penduduk minoritas etnik Uighur, yang mengatakan bahwa hukuman itu dimaksudkan untuk membungkam para pengecam kebijakan Beijing di wilayah Xinjiang.
"Para kriminal ini menggunakan telefon genggam dan media lain untuk melihat, meniru dan mempublikasikan 'perang suci' dan terorisme melalui bahan-bahan gambar dan audio visual," kata laporan mengenai persidangan itu di situs berita Tianshan milik pemerintah di Xinjiang.
"Mereka menggunakan perangkat keras yang bisa dipindahkan untuk mendorong kejahatan separatisme, ekstrimisme keagamaan dan terorisme, atau menggunakan Internet... untuk mengunduh atau menyebarkan materi audio-visual atau dokumen mengenai ekstrimisme keagamaan," katanya.
Menurut laporan itu, salah satu dari lima kasus melibatkan delapan orang di daerah Aksu, Xinjiang, yang dihukum hingga 13 tahun karena menyebarkan penerbitan yang mengobarkan separatisme, ekstrimisme keagamaan dan terorisme.
Tiga orang lain dihukum di kota Kashgar hingga 15 tahun karena menyaksikan video "jihad" atau perang suci dan menyebarkan bahan-bahan cetak dan buku mengenai hal itu, kata laporan tersebut.
Yang lain dipenjara hingga 13 tahun karena tuduhan kriminal serupa, termasuk empat orang di ibu kota wilayah itu, Urumqi, karena mengobarkan terorisme melalui Internet.
Hukuman itu disampaikan setelah pemimpin Xinjiang berjanji bulan lalu untuk menumpas "dengan tangan besi" kekuatan separatis di wilayah itu, ketika pasukan keamanan dalam jumlah besar dikerahkan untuk menjaga peringatan kerusuhan etnik mematikan pada 2009.
Ibu kota Xinjiang, Urumqi, menjadi pusat kerusuhan terburuk di China dalam beberapa dasawarsa pada 5 Juli 2009.
Kerusuhan itu merenggut hampir 200 jiwa dan mencederai sekitar 1.700 orang. Kekerasan yang dialami warga Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota di dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan paling keras melontarkan kecaman dan menyebut kejadian di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".
Warga Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.
Delapan juta warga Uighur memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang Cina Han yang berjumlah kurang dari separuh penduduk Xinjiang.