Sabtu 04 Aug 2012 04:00 WIB

Menyikapi Kejadian

Seorang perempuan tengah khusyuk berdoa usai melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (23/7). (Agung Supriyanto/Republika)
Seorang perempuan tengah khusyuk berdoa usai melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (23/7). (Agung Supriyanto/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr (HC) A Riawan Amin MSc

Suatu hari, ada dua anak bermain di tepi pantai. Tiba-tiba datanglah gelombang ombak di hadapan mereka. Menyapu dan hampir saja menyeret keduanya.

Namun, saat ombak berlalu, terlihat dua reaksi yang sama sekali berbeda dari kedua anak tersebut. Anak pertama tertawa penuh suka cita. Sebaliknya, anak kedua terlihat menangis penuh duka cita.

Kisah di atas menggambarkan bahwa kejadian yang sama pada tempat dan waktu yang sama dapat disikapi secara berbeda. Kejadian adalah apa yang menimpa kita. Sering kali kejadian berlangsung di luar rencana dan kekuasaan kita, walaupun pasti berada dalam rencana dan kuasa Allah. Segala kejadian, termasuk musibah atau bencana, pastilah terjadi atas izin dan kehendak Allah SWT.

 

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum kami mewjudukannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu …” (QS al-Hadid [57]: 22-23).

Umumnya manusia bersikap reaktif saat mengalami kejadian-kejadian dalam hidupnya. Artinya, mencipta pengalaman negatif atas kejadian yang dianggap negatif dan sebaliknya.

Aksioma bahwa kejadian negatif pasti menghasilkan sesuatu yang negatif dan kejadian positif pasti menghasilkan sesuatu yang positif, terpatahkan dalam kisah di pantai tadi. Perbedaan reaksi dua anak tersebut mengindikasikan terbukanya pilihan manusia untuk mencipta pengalamannya sendiri dan memilih untuk selalu bereaksi positif terhadap segala kejadian yang menimpanya.

Reaksi positif yang didasari prasangka baik kepada Allah SWT niscaya membawa pada kehidupan yang tenteram, sebagaimana dinyatakan dalam Hadis Qudsi; “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku. Jika baik prasangkanya, kebaikanlah baginya. Jika buruk prasangkanya, keburukanlah baginya.”

Dalam Hadis Qudsi yang lain dikatakan, “Aku bergantung pada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku …” (HR Bukhari).

Karena terbukanya pilihan bagi manusia untuk mencipta pengalamannya sendiri dan memilih untuk selalu bereaksi positif terhadap segala kejadian yang menimpanya, mengapa kita tidak memilih reaksi positif atas setiap kejadian dalam hidup kita? Menyikapi setiap kejadian dengan tenang, penuh persangkaan baik kepada Allah, dan selalu bertawakal kepada Allah.

Suasana jiwa yang mewarnai pengalaman-pengalaman kita dapat secara jelas terpisahkan serta independen dari suasana dan kejadian-kejadian pada lingkungan di sekeliling. Orang yang ikhlas dan tenteram jiwanya, sabar, tersenyum walaupun berat cobaan hidup yang dialaminya.

Jiwanya selalu tenteram dan ikhlas dalam mengingat Allah. Jiwanya tak lagi terombang ambing oleh susah-senang nyaman-tak nyaman yang datang bersama setiap kejadian. Setiap kejadian yang dialami dan diambil dari sisi positif, penuh hikmah sebagai jalan agar semakin dekat kepada Allah SWT, itulah yang disebut nafsul muthmainnah. Cara itu merupakan salah satu didikan madrasah Ramadhan

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement