REPUBLIKA.CO.ID, KEBAYORAN BARU -- Penahanan tujuh tersangka bullying SMA Don Bosco oleh Kapolres Jakarta Selatan pada Kamis (2/8) malam dinilai merupakan langkah yang terburu-buru oleh Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak. Komnas Anak padahal tengah melakukan rekondisi untuk proses mediasi atau rekonsiliasi kedua belah pihak.
"Penahanan ini membuat proses rekondisi yang sudah 90 persen menjadi berantakan lagi," ujar Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak kepada Republika, Sabtu (4/8). Menurutnya, langkah yang seharusnya dilakukan adalah rekonsilisiasi.
Rekonsiliasi merupakan langkah mediasi antara pihak korban dan tersangka yang dipertemukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. "Pencapaian dari proses ini adalah tersangka menyadari kesalahan mereka dan mengakuinya di hadapan korban, setelah itu penyelesaian berada di tangan mereka," kata dia.
Ia menambahkan, kasus seperti ini tidak hanya terjadi di SMA Don Bosco. Maka, menurut dia yang harus dilakukan adalah memutus mata rantai kekerasan tersebut dengan meluruskan doktrin yang selama ini melekat pada siswa.
Selama ini, mereka menganggap hal tersebut sebagai proses yang memang harus mereka jalani. "Itu yang harus diluruskan," ujarnya.
Kasus //bullying// akibat doktrin yang salah ini berawal dari senioritas yang merata di semua sekolah. "Masa Orientasi Siswa (MOS) juga extrakulikuler sangat kental dengan senioritas," kata dia.
Arist menegaskan bahwa penahanan melalui jalur hukum bukan cara yang tepat karena dapat merenggut hak-hak anak. "Terlebih jika ada rasa dendam karena diperlakukan tidak adil, padahal kakak kelas mereka pun melakukan hal sama kepada mereka dahulu," kata dia.