Sabtu 04 Aug 2012 13:11 WIB

Presiden Diminta Turun Tangan di Kasus Simulator SIM

Sejumlah Tim Penyidik KPK memeriksa dokumen di Kantor Korps Lalu Lintas Mabes Polri di Jakarta, Selasa (31/7). Pemeriksaan dokumen tersebut berkaitan dengan dugaan korupsi pengadaan simulator SIM.
Foto: ANTARA
Sejumlah Tim Penyidik KPK memeriksa dokumen di Kantor Korps Lalu Lintas Mabes Polri di Jakarta, Selasa (31/7). Pemeriksaan dokumen tersebut berkaitan dengan dugaan korupsi pengadaan simulator SIM.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipandang perlu mengintervensi kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri agar institusi ini tidak menyalahi undang-undang.

"Karena pertaruhannya pada tertib asas negara hukum atau bertentangan dengan konstitusi, aneh kalau Presiden tidak mau intervensi atas perilaku melawan konstitusi tersebut," kata anggota Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Sundari, dari Semarang, Sabtu (4/8).

Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mengemukakan pandangan itu sebagai tanggapan pemberitaan di sejumlah media bahwa Polri tidak mau menyerahkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut dia, argumentasi bahwa sikap Polri didukung nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) amat naif karena justru sikap tersebut menyalahi undang-undang (UU).

"Masak UU kalah dengan MoU? Apa Polri punya pemahaman tentang tata urutan perundang-undangan yang beda dengan Republik Indonesia? Ini pendidikan politik yang jelek karena hukum dikalahkan kekuasaan (Polri). Ini sikap jumawa dan menyiratkan praktik negara di dalam negara," paparnya.

Menyinggung kembali Presiden tidak mau intervensi atas kasus tersebut, Eva menyiratkan dua hal, yakni Presiden sebagai kepala pemerintahan melakukan pembiaran konflik antarlembaga dan perilaku yang bertentangan konstitusi.

Ia berpendapat melanggar konstitusi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan pelanggaran serius yang bahkan bisa berimplikasi pemakzulan (impeachment) bagi Presiden.

"Jadi, sepatutnya Presiden memerintahkan Kapolri untuk taat konstitusi dan undang-undang. Ketegasan Presiden juga akan merupakan sinyal keseriusan beliau terhadap program pemberantasan tindak pidana korupsi yang selalu dipidatokan," katanya menandaskan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement