REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo mutlak karena kesalahan operasional pengeboran yang dilaksanakan PT Lapindo Brantas. Pendapat itu disampaikan pakar geologi, RP Koesoemadinata
Ia memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Pasal 18 UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang APBN-P 2012. Menurut dia, sulit untuk menjelaskan bahwa Lumpur Lapindo merupakan bencana alam, karena pada dasarnya terjadi kesalahan dalam melakukan pengeboran.
"Dinding sumur tidak dipasang hingga dasar, padahal dalam rencananya dinding akan dipasang hingga dasar tempat melakukan pengeboran," paparnya. Koesoemadinata mengatakan berdasarkan ilustrasi pemasangan dinding, operator hanya memasang dinding seperempat dari kedalaman pengeboran yang akan dilakukan.
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Anggota Drilling Engineers Club Kersam Sumanta di depan majelis hakim pleno yang dipimpin Wakil Ketua MK Ahmad Sodiki yang didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya. Dia menjelaskan bahwa semburan Lumpur Lapindo bukan bencana alam, tetapi bencana akibat ulah perbuatan manusia.
Dalam program tertulis dinding harus dipasang hingga kedalaman 8.500 'feet' (kaki), namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dipenuh, bahkan pengeboran terus dilakukan hingga kedalaman 9,297 'feet', papar Kersam.
"Tidak mematuhi program yang sudah disetujui bersama, dan mengabaikan saran 'shareholder' MEDCO untuk memasang dinding hingga kedalaman 8.500 feet sebelum melanjutkan pengeboran, tanpa alasan yang jelas," jelasnya.
Akibat dinding tidak dipasang hingga kedalaman 8.500 feet, maka tekanan air dari dalam terus naik ke atas dan mencari celah yang akhirnya menyembur tidak jauh dari sumur pengeboran.
Kersam mengatakan bahwa semburan Lumpur Lapindo akibat gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 dijadikan penyebabnya merupakan alasan yang dibuat-buat.
Anggota Drilling Engineers Club lainnya, Mustiko Saleh, mengatakan tidak ada kaitannya gempa dengan semburan lumpur. "Gempa Yogyakarta itu dua hari sebelum Lumpur Lapindo menyembur, kemudian paling jauh dampak dari gempa hanya 100 Km. Nah, Sidoarjo itu jaraknya 275 Km. Di Sidoarjo pun tidak ada bangunan yang roboh, jadi alasan itu tidak benar," tukas Mustiko.