REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi pemalsuan dan pembajakan di Indonesia kian marak. Hal inilah yang membuat Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM, melakukan sosialisasi kembali tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang HKI.
Wakil Ketua MIAP, Ibrahim Senen menjelaskan, sosialisasi itu ditujukan untuk menyegarkan pemahaman tentang pentingnya perlindungan HKI. "Fatwa MUI tentang perlindungan HKI sudah ditetapkan 7 tahun lalu lewat Keputusan Fatwa MUI No 1 Tahun 2005 dalam musyawarah nasional ke 7. Namun masih saja ada pelanggaran hak cipta di negeri ini," kata Ibrahim, di Jakarta, Selasa (7/8).
Penyegaran kembali adanya fatwa MUI mengenai perlindungan ini penting, kata dia, mengingat masalah pelanggaran HKI di Indonesia masih terbilang tinggi. Hasil riset dan studi menggambarkan betapa pelanggaran terhadap HKI masih banyak terjadi di seluruh lapisan masyarakat.
Ibrahim memaparkan, MIAP telah melakukan studi dengan Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI terhadap 12 sektor industri. Penelitian ini dilakukan pada periode Juni-Oktober 2010 memperlihatkan hasil yang memprihatinkan. "Peredaran barang palsu di 12 sektor Industri di Indonesia cukup tinggi."
Peredaran barang palsu terdata di bidang farmasi (3,5 persen), kosmetika (6,4 persen), oli atau pelumas (7 persen), pestisida (7,7 persen), minuman (8,9 persen), Rokok (11,5 persen), elektronik (13,7 persen), lampu (16,4 persen), suku cadang (16,8 persen), pakaian (30,2 persen), perangkat lunak (34,1 persen), dan barang dari kulit (35,7 persen).
Sosialisasi ini diakhiri dengan penandatanganan prasasti anti-pemalsuan. Penandatanganan dilakukan oleh ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin, Wakil Ketua MIAP Ibrahim Senen, dan Dirjen Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M Ramli.