REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan pemilik PT Hardaya Inti Plantation (HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM), Siti Hartati Murdaya sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Ia diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan pasal-pasal yang digunakan itu, Hartati terancam dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun. "Pasal yang disangkakan terhadap SHM yakni Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," kata Ketua KPK Abraham Samad dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (8/8).
Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b mengatur soal tindak pidana penyuapan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Jika terbukti melanggar pasal ini, Hartati bisa dijatuhi hukuman penjara paling lama 5 tahun serta hukuman denda paling banyak Rp 250 juta. Sedangkan Pasal 13 mengatur soal pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara mengingat jabatannya.
Mengacu pasal ini, tersangka Hartati bisa dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 tahun serta denda Rp 150 juta.
Menurut Abraham, Hartati selaku Presiden Direktur PT HIP dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) diduga kuat telah memberikan uang senilai Rp 3 miliar kepada Bupati Buol, Amran Batalipu. Pemberian uang terkait penerbitan HGU perkebunan kelapa sawit untuk PT HIP dan PT CCM milik Hartati yang berlokasi di Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, Sulteng.
"Pemberian uang tersebut diduga berkaitan dengan pengurusan HGU PT CCM dan PT HIP," ujar Abraham.
Sejak berstatus sebagai saksi, Hartati telah dilarang berpergian ke luar negeri terkait penyidikan kasus suap ini. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut telah dilarang meninggalkan Indonesia selama enam bulan sejak 28 Juni 2012.