REPUBLIKA.CO.ID, ARBIL -- Daerah otonom Irak, Kurdistan, kemarin, kembali melakukan ekspor minyak setelah kawasan itu menghentikan ekspor mereka selama lebih dari empat bulan. Penghentian ekspor itu terjadi, menurut pejabat Kurdistan, karena sengketa dengan Baghdad.
Kurdistan menghentikan ekspor minyaknya melalui pemerintah federal pada 1 April karena menurut mereka Baghdad menahan pendapatan minyak mereka senilai 1,5 miliar dolar AS. "Kami mulai mengekspor minyak sore ini," kata Ashti Hawrami, Menteri Sumber Daya Alam di pemerintahan Kurdistan, seperti dilansir AFP, Rabu (8/8).
Hawrami mengatakan bahwa ekspor kali ini kurang dari 100 ribu barel per harinya namun mereka akan mencapai target itu dalam dua hari mendatang. Kurdistan pada 1 Agustus mengumumkan akan memulai kembali ekspornya, dalam suatu pernyataan yang dikeluarkan oleh juru bicara Kementerian Sumber Daya Alam.
Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa ekspor akan tetap sebesar 100 ribu barel per hari selama satu bulan dan jika pembayaran lancar mereka dapat meningkatkannya menjadi 200 ribu barel per hari. Hawrami mengatakan dalam pernyataan itu bahwa langkah tersebut diambil untuk membangun kepercayaan terhadap pemerintah federal.
Baghdad dan Arbil memiliki sejumlah isu yang mengganjal termasuk penolakan Kurdistan untuk mencari persetujuan pemerintah pusat untuk kontrak minyak yang diberikannya ke perusahaan asing dan terkait kawasan sengketa di utara Irak. Baghdad mengatakan bahwa seluruh kesepakatan minyak harus melalui Kementerian Perminyakan Nasional dan sikap di luar itu dinilai sebagai ilegal.