REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut.
Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang pemerintah Usmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Usmaniyyah di Palestina.
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, “Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.”
“Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya.”
“Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggung jawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini, di Istanbul,” tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.